Tuesday, July 26, 2011 3 comments

Tembilahan, Indonesia Mini :)

Kali ini saya akan berbagi mengenai beberapa kebiasaan unik masyarakat kota Tembilahan. Ya, kota indah di daerah selatan provinsi Riau ini adalah ibukota kabupaten Indragiri Hilir sekaligus kota kelahiran saya. Negeri yang terkenal dengan sebutan “negeri seribu parit” ini memang unik. Sesuai gelarnya, kota ini memiliki banyak parit. Eit, jangan salah kaprah dulu. Parit di dalam terma kota ini adalah anak sungai kecil, bukan selokan atau got. Jadi bisa ditebak, kota ini pun memiliki "seribu jembatan“. Jembatannya pun bukan jembatan gantung biasa terlebih lagi batang pohon semata, namun jembatan yang dibangun adalah jembatan kokoh (besi) yang penyangganya langsung dibawa dari Australia. Menarik, bukan?

Jembatan penghubung di Rumbai
Nah, keunikan lain kota ini adalah keberagaman suku di dalamnya. Boleh dibilang, kota ini adalah Indonesia mini. Semua suku ada di sini. Ya tidak semua juga, tapi beberapa suku boleh kita sebutkan seperti Melayu, Banjar, Batak, Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Tionghoa, dll. Lumayan banyak, ya ? Kota kecil yang berpenduduk 70 ribuan ini, hidup harmonis dengan semua keberagaman itu. Bayangkan saja, berbeda suku tentunya beda kebiasaan dong ? Jika disinkronisasikan pada sejarah, kota ini menjadi begitu beragam karena letaknya yang strategis. Sebagai daerah perairan, kota kecil ini tentunya menjadi akses dagang yang meluas. Juga, pada masa pra kemerdekaan banyak sekali tokoh-tokoh pahlawan seperti dari Kalimantan yang bersuku Banjar migrasi ke Riau, yaitu ke kota Tembilahan ini.
Jadi, sudah bisa diprediksi kebanyakan masyarakat kota ini, bahkan anak kecil mampu menguasai 2 atau 3 bahasa daerah. Mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa Banjar, meskipun mayoritas penduduk adalah bersuku melayu. Jika dipasar, banyak juga yang menggunakan bahasa minang atau madura. Bahasa batak, jawa, hokkien, bugis dsb biasa digunakan dalam komunitas kecil misalnya di kampung jawa-sebuah komunitas mayoritas suku jawa yang hidup berdampingan. Jadi sedari kecil sudah terbiasa mendengar bahasa – bahasa daerah yang beragam.
Dari keberagaman inilah banyak kebiasaan-kebiasaan unik yang muncul. Salah satunya, pengucapan salam. Biasanya kita menggunakan salam seperti "Assalamu’alaikum" bagi yang muslim atau secara umum "Permisi", bukan ? Nah, di kota ini kami biasa mengucapkan "Ooorangnya" dibaca dengan huruf "o" yang sedikit dipanjangkan (sesuai penulisan) dan diikuti dengan "-rangnya" yang diiramakan. Secara literal kata "orang" ditujukan kepada orang yang dipanggil. Dan uniknya, panggilan ini tidak mengenal gender ataupun usia. Jadi, berlaku untuk semua orang khususnya orang yang tidak dikenal.



Hal unik lainnya adalah gaya khas percakapan. Kami biasa menggunakan partikel partikel tertentu di akhiran kalimat seperti juga dalam bahasa lainnya : toh dll. Bedanya, bahasa ini menjadi bahasa ‘tembilahan’ dan bukan lagi menjadi bahasa kesukuan saja. Bahkan suku Tionghoa pun juga mahir sekali dengan dialek ‘kebanjar-banjaran’ ini. Tiga diantaranya : pang, de‘ (dibaca dengan 'e' lemah), leh (dibaca dengan 'e' seperti dalam ‚lenggang‘). Partikel 'pang' digunakan untuk penekanan kalimat, contohnya : Nang itu tu pang tu‘ (Yang itu tuh!), jadi tidak memiliki makna tertentu. Sedangkan de‘ dan leh digunakan sebagai pengganti “..., kan?“ atau bisa juga sebagai pengganti "ya“ pada akhir kalimat, contohnya: Iye, de‘ = Iya, ya. Bedanya, de‘ digunakan dalam komunitas melayu tembilahan dan leh digunakan dalam percakapan bahasa banjar. Contoh penggunaan leh : Nang ini, leh? (Yang ini, bukan?).

Sekian dulu. Tunggu postingan mengenai kebiasaan tau budaya unik lainnya ! :)

Avant-propos!

Welcome to my page! Feel free to drop your comment :)

Introduction

Welcome

.

Twitter

“We are born to learn, We learn to know, We know to share, We share to think, We think for CHANGE!”-Raja Reza Fahlevi

Tembilahan, Indonesia Mini :)

Kali ini saya akan berbagi mengenai beberapa kebiasaan unik masyarakat kota Tembilahan. Ya, kota indah di daerah selatan provinsi Riau ini adalah ibukota kabupaten Indragiri Hilir sekaligus kota kelahiran saya. Negeri yang terkenal dengan sebutan “negeri seribu parit” ini memang unik. Sesuai gelarnya, kota ini memiliki banyak parit. Eit, jangan salah kaprah dulu. Parit di dalam terma kota ini adalah anak sungai kecil, bukan selokan atau got. Jadi bisa ditebak, kota ini pun memiliki "seribu jembatan“. Jembatannya pun bukan jembatan gantung biasa terlebih lagi batang pohon semata, namun jembatan yang dibangun adalah jembatan kokoh (besi) yang penyangganya langsung dibawa dari Australia. Menarik, bukan?

Jembatan penghubung di Rumbai
Nah, keunikan lain kota ini adalah keberagaman suku di dalamnya. Boleh dibilang, kota ini adalah Indonesia mini. Semua suku ada di sini. Ya tidak semua juga, tapi beberapa suku boleh kita sebutkan seperti Melayu, Banjar, Batak, Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Tionghoa, dll. Lumayan banyak, ya ? Kota kecil yang berpenduduk 70 ribuan ini, hidup harmonis dengan semua keberagaman itu. Bayangkan saja, berbeda suku tentunya beda kebiasaan dong ? Jika disinkronisasikan pada sejarah, kota ini menjadi begitu beragam karena letaknya yang strategis. Sebagai daerah perairan, kota kecil ini tentunya menjadi akses dagang yang meluas. Juga, pada masa pra kemerdekaan banyak sekali tokoh-tokoh pahlawan seperti dari Kalimantan yang bersuku Banjar migrasi ke Riau, yaitu ke kota Tembilahan ini.
Jadi, sudah bisa diprediksi kebanyakan masyarakat kota ini, bahkan anak kecil mampu menguasai 2 atau 3 bahasa daerah. Mayoritas bahasa yang digunakan adalah bahasa Banjar, meskipun mayoritas penduduk adalah bersuku melayu. Jika dipasar, banyak juga yang menggunakan bahasa minang atau madura. Bahasa batak, jawa, hokkien, bugis dsb biasa digunakan dalam komunitas kecil misalnya di kampung jawa-sebuah komunitas mayoritas suku jawa yang hidup berdampingan. Jadi sedari kecil sudah terbiasa mendengar bahasa – bahasa daerah yang beragam.
Dari keberagaman inilah banyak kebiasaan-kebiasaan unik yang muncul. Salah satunya, pengucapan salam. Biasanya kita menggunakan salam seperti "Assalamu’alaikum" bagi yang muslim atau secara umum "Permisi", bukan ? Nah, di kota ini kami biasa mengucapkan "Ooorangnya" dibaca dengan huruf "o" yang sedikit dipanjangkan (sesuai penulisan) dan diikuti dengan "-rangnya" yang diiramakan. Secara literal kata "orang" ditujukan kepada orang yang dipanggil. Dan uniknya, panggilan ini tidak mengenal gender ataupun usia. Jadi, berlaku untuk semua orang khususnya orang yang tidak dikenal.



Hal unik lainnya adalah gaya khas percakapan. Kami biasa menggunakan partikel partikel tertentu di akhiran kalimat seperti juga dalam bahasa lainnya : toh dll. Bedanya, bahasa ini menjadi bahasa ‘tembilahan’ dan bukan lagi menjadi bahasa kesukuan saja. Bahkan suku Tionghoa pun juga mahir sekali dengan dialek ‘kebanjar-banjaran’ ini. Tiga diantaranya : pang, de‘ (dibaca dengan 'e' lemah), leh (dibaca dengan 'e' seperti dalam ‚lenggang‘). Partikel 'pang' digunakan untuk penekanan kalimat, contohnya : Nang itu tu pang tu‘ (Yang itu tuh!), jadi tidak memiliki makna tertentu. Sedangkan de‘ dan leh digunakan sebagai pengganti “..., kan?“ atau bisa juga sebagai pengganti "ya“ pada akhir kalimat, contohnya: Iye, de‘ = Iya, ya. Bedanya, de‘ digunakan dalam komunitas melayu tembilahan dan leh digunakan dalam percakapan bahasa banjar. Contoh penggunaan leh : Nang ini, leh? (Yang ini, bukan?).

Sekian dulu. Tunggu postingan mengenai kebiasaan tau budaya unik lainnya ! :)

Followers

 
;