Sunday, February 7, 2010

Bangga Indonesia : Sayang Budaya Refleksikan Cinta Bangsa__http://www.mudaers.com

Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC

-Sayang budaya?-
Isu budaya mungkin menjadi polemik bagi sebagian orang. Saat isu-isu “kecolongan” terjadi, hampir setiap individu merasa “kehilangan” (baca : huru-hara). Namun, dibalik semua rasa memiliki tersebut, apakah kita sebenarnya cinta budaya dalam arti sebenar?
Mari telaah kembali hal – hal yang mungkin tanpa kita sadari telah mencuri pandangan kita tentang budaya.
1. Pengakuan budaya. Kita semua mengakui, Indonesia adalah Negara yang makmur, baik dari segi sumber daya alam maupun budaya yang beragam. Sedari kecil, paling tidak kita telah diajarkan ciri khas budaya masing-masing. Nah, apa yang terjadi sekarang? Generasi muda sudah bosan bahkan tidak ingin mendengar lagu daerah. Sangat banyak yang tidak tahu memainkan alat musik daerah sendiri bahkan tidak tahu tarian daerah sendiri, jangankan menarikannya. Kenyataannya, muda-mudi lebih memilih menguasai alat musik modern (baca : anak band).
Ironis, bukan? Saat budaya kita “direbut” oknum tertentu. Kita berkicau senyaring-nyaringnya, mengalahkan tokoh-tokoh budaya. Setiap orang beradu argumen di media-media massa dan elektronik,e.g: milis, forum etc. Tapi, sadarkah kita bahwa kita hanya terbawa emosi? Memang benar, rasa cinta tanah air sebagai wujud dedikasi itu penting. Tapi, semua itu non-sense kalau kita sendiri tidak tahu apa implementasi budaya itu sendiri. Tidak usah bicara panjang lebar, kalau kita sendiri tidak punya bukti kuat. Coba fikirkan,
seseorang hanya mampu protes tapi tak memberikan solusi? Atau, seseorang yang hanya mampu berkoar2, tapi tidak berbuat apa-apa? Jika itu semua ada pada diri kita, maka bercerminlah. Karena sesungguhnya, kita semua akan selalu befikiran sempit jika kita terus terdoktrin akan isu-isu yang dibesar-besarkan oleh media, dsb.
2. Doktrin Media. Tidakkah kita sadari kebebasan media pun memberi dampak negative terhadap cara berfikir? Mengingat kembali kasus “kecolongan” budaya masa kini, saya jadi teringat momen –momen panas tari pendet. Sekedar berbagi, ada cerita unik disebalik itu. Di sini (baca : Malaysia), semua orang bahkan tidak tahu apayang terjadi saat itu. Bahkan tercetus sedikit pun tidak ada. Mungkin susah dipercaya. Namun, itulah kenyataannya. Kalau kita ingin tahu, berita itu hanya ada di pejabat kementrian sahaja. Orang awam? Barang secuil pun mereka tidak tahu. Nah, setelah kasus itu mereda, barulah ada yang mengupload video tentang orang Indonesia yang membakar bendera Malaysia (itu pun oleh salah seorang Mahasiswa yang aktif). Di komen video facebook itu, bahkan seorang mahasiswi Malaysia (yg juga aktif) bertanya : “ Ape sal die orang buat cam tu ea?..” (baca : Kenapa mereka berbuat begitu?). Kemudian, sang empunya video pun menjawab : “Entahlah… aku dengar, dia orang kata, kita curi budaya dia orang”. Nah, mari telaah komen barusan. Bahkan, setelah ada kejadian seperti itu pun, mereka masih tidak tahu menahu kasus yang sebenarnya. Yang mereka tahu, kita telah menuduh mereka “mencuri”. Itu saja. Saya yakin, anda semua bijak berfikir dan bisa menyimpulkan. Mengapa bisa begitu? Jawabannya tertera seperti judul point ke dua ini = Doktrin Media.
3. Klarifikasi. Semua masalah terletak pada point ini. Mari kita ambil sebarang satu atau dua contoh.1) Batik. Kalau kita ingin menelaah batik yang ada di Malaysia amatlah berbeda corak dengan batik kita. Jika kita tahu sejarahnya, bahwa batik yang singgah di Malaysia adalah batik bercorak bunga. Maka itulah merka mengembangkan corak tersebut hingga kini. Kalau begitu, mengapa dipermasalahkan? Seperti yang kita semua tahu, itu semua berawal dari ketidakjelasan unsur-unsur batik itu sendiri. Kita dan mereka hanya menyebut kata, Batik. Dan mereka pun tidak mengakui bahwa sebenarnya nenek moyang bahkan pendatang-pendatang yang membawa budaya itu sendiri adalah berasal dari Indonesia. Itulah yang menjadi akar masalah. Tapi, kita harus membatasi makna “mereka” itu tadi. Bahwa, sama seperti kita, orang-orang yang berfikiran sempit lah yang tidak mau menerima perbedaan. Huru-hara memperdebatkan apa yang dimilki siapa, dsb. Sesuai keterangan salah seorang sastrawan Negara Malaysia, Ia mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri, 70% dari budaya Malaysia adalah berasal dari budaya Indonesia. Salah satu buktinya, sebab itulah hanya Mak Yong, satu-satu nya budaya bergerak milik Malaysia yang boleh dipatenkan di UNESCO. 2) REOG. Masalah ini boleh dibilang berasal dari negeri Johor. Dimana, orang –orang jawa banyak sekali tinggal di sana. Masalahnya terbilang sederhana, masyarakat jawa yang ada di johor mempunyai nenek moyang orang jawa. Sehingga sekarang, ada yang masih memiliki ikatan saudara secara langsung dengan orang pulau jawa (eg. Ayah/ibu/nenek) yang rata-rata sudah berkewarganegaraan Malaysia maupun masyarakat yang memang secara langsung sudah tidak memiliki ikatan. Belum lagi para TKI/TKW yang bekerja di sana. Nah, mereka semua ini tentu saja mengetahui budaya masing-masing. Yang secara sadar atau tidak diturunkan ke generasi berikut. Yang mana, apabila ada kesempatan, seperti hari – hari besar, atau perayaan ultah negri (provinsi) dsb, hal –hal tersebut (bc : reog) akan ditampilkan di khalayak umum. Nah, tentu saja, bagi masyarakat awam, mereka mengira itu budaya mereka.
Bagaimana menyikapi semua polemic di atas? Tetap kekeuh adu argument di dunia maya? Tidak ambil pusing?
Berikut solusi yang boleh diketengahkan. Kebetulan, dua hari yang lalu, saya diundang sebagai panelis pada program sharing budaya dan sastra. Program ini banyak membahas tentang perkembangan sastra dan budaya di ASEAN. Juga diundang panelis dari singapura, Thailand dan brunei. Nah, dari hal ini kita dapat merumuskan, adalah salah satu cara bagi kita untuk mengukuhkan budaya dengan promosi secara langsung. Menariknya, pada malam penampilan puisi oleh panelis masing-masing Negara, sebagai pembuka dan penutupnya, kami semua disuguhkan oleh tari merak dan tari kipas dari jawa tengah.menarik bukan? Mengetengahkan budaya bangsa di ranah orang lain.
Sebentar, kelihatan sangat rumit. Mana mungkin hal tersebut dilakukan dengan mudah. Wong, kalau mau ke luar Negara, yo pake duit lagi?
Mulailah dari hal kecil. Contoh :
1. Menulis. Terbitkan paper- paper tentang budaya kita, dan promosikan. Nah, inilah sisi positif media. Sebarkan!
2. Survey. Buat survey perbandingan budaya, sehingga kita bisa mengetahui bagaimana keadaan budaya nasional.
3. Bentuk group seni. Kalau kita sendiri sudah tidak mengenal bahkan tidak menguasai budaya sendiri. Bagaimana kita ingin berargumen?
Terus terang, saya bangga menjadi WNI. Dengan kapasitas saya kuliah di luar negri, saya menjadi bersemangat untuk mempromosikan budaya kita. Kami gemar mengadakan pagelaran atau sejenis pesta budaya Indonesia dan mengundang khalayak di sini untuk menonton pertunjukkan bahkan membli pernak-pernik yang “truly Indonesia”.
Saya yakin, apresiasi budaya telah banyak di laksanakan di Indonesia, baik di sekolah maupun Universitas. Industri music pun mulai beragam dengan khasanah budaya. Yep, langkah yang sangat bagus, memasukkan unsur-unsur budaya dalam lagu band dsb.
Namun, sejauh ini pula, tidak bisa kita pungkiri, itu semua belum cukup, bahkan kita bisa melihat. Seni sastra tertumpu pada orang-orang non –sains.
Sebagai gambaran,-saya tidak tahu apakah di beberapa institusi pendidikan di Indonesia menerapkan ini atau tidak. Namun, di beberapa institusi Malaysia, pelajar diwajibkan mengambil keahlian seperti soft skills, teater, dan musik. Dan tahukah anda? Music yang paling banyak digemari adalah music tradisional seperti gamelan, rebana ubi, dsb. Hmm, mungkin kita bisa bercermin, masyarakat luar saja bersemangat untuk mempelajari budaya, yang kata kita itu semua milik kita. Nah, mengapa kita tidak?
Hal ini menarik menurut saya. Betapa segala sesuatu diapresiasi sebagai bentuk kecintaan. Nah, kapan lagi kita mencoba untuk mencintai budaya setulus hati?
Hint : Saya sendiri mahir bermain bonang di MY..;-)
IYC adalah wadah bersatu. Mari wujudkan pemuda intelek, berdedikasi lagi befikir kritis.;-)
Nah, sekarang, saatnya kita bercermin, sudahkah kita melakukan yang terbaik untuk mempertahankan budaya bangsa?
P.S : Tulisan di atas adalah hasil pandangan serta beberapa cungkilan selama saya di Malaysia. Kritik dan komen amatlah dihargai..;-) Hidup berwarna dengan perbedaan!

Share

2 comments:

Boku no Blog said...

Salam Ziarah,..Artikel dan Blog yang bagus mas Rajan,..
salam kenal dan sukses selalu

Re said...

thanks mas..

salam ziarah,,

Avant-propos!

Welcome to my page! Feel free to drop your comment :)

Introduction

Welcome

.

Twitter

“We are born to learn, We learn to know, We know to share, We share to think, We think for CHANGE!”-Raja Reza Fahlevi

Bangga Indonesia : Sayang Budaya Refleksikan Cinta Bangsa__http://www.mudaers.com

Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC

-Sayang budaya?-
Isu budaya mungkin menjadi polemik bagi sebagian orang. Saat isu-isu “kecolongan” terjadi, hampir setiap individu merasa “kehilangan” (baca : huru-hara). Namun, dibalik semua rasa memiliki tersebut, apakah kita sebenarnya cinta budaya dalam arti sebenar?
Mari telaah kembali hal – hal yang mungkin tanpa kita sadari telah mencuri pandangan kita tentang budaya.
1. Pengakuan budaya. Kita semua mengakui, Indonesia adalah Negara yang makmur, baik dari segi sumber daya alam maupun budaya yang beragam. Sedari kecil, paling tidak kita telah diajarkan ciri khas budaya masing-masing. Nah, apa yang terjadi sekarang? Generasi muda sudah bosan bahkan tidak ingin mendengar lagu daerah. Sangat banyak yang tidak tahu memainkan alat musik daerah sendiri bahkan tidak tahu tarian daerah sendiri, jangankan menarikannya. Kenyataannya, muda-mudi lebih memilih menguasai alat musik modern (baca : anak band).
Ironis, bukan? Saat budaya kita “direbut” oknum tertentu. Kita berkicau senyaring-nyaringnya, mengalahkan tokoh-tokoh budaya. Setiap orang beradu argumen di media-media massa dan elektronik,e.g: milis, forum etc. Tapi, sadarkah kita bahwa kita hanya terbawa emosi? Memang benar, rasa cinta tanah air sebagai wujud dedikasi itu penting. Tapi, semua itu non-sense kalau kita sendiri tidak tahu apa implementasi budaya itu sendiri. Tidak usah bicara panjang lebar, kalau kita sendiri tidak punya bukti kuat. Coba fikirkan,
seseorang hanya mampu protes tapi tak memberikan solusi? Atau, seseorang yang hanya mampu berkoar2, tapi tidak berbuat apa-apa? Jika itu semua ada pada diri kita, maka bercerminlah. Karena sesungguhnya, kita semua akan selalu befikiran sempit jika kita terus terdoktrin akan isu-isu yang dibesar-besarkan oleh media, dsb.
2. Doktrin Media. Tidakkah kita sadari kebebasan media pun memberi dampak negative terhadap cara berfikir? Mengingat kembali kasus “kecolongan” budaya masa kini, saya jadi teringat momen –momen panas tari pendet. Sekedar berbagi, ada cerita unik disebalik itu. Di sini (baca : Malaysia), semua orang bahkan tidak tahu apayang terjadi saat itu. Bahkan tercetus sedikit pun tidak ada. Mungkin susah dipercaya. Namun, itulah kenyataannya. Kalau kita ingin tahu, berita itu hanya ada di pejabat kementrian sahaja. Orang awam? Barang secuil pun mereka tidak tahu. Nah, setelah kasus itu mereda, barulah ada yang mengupload video tentang orang Indonesia yang membakar bendera Malaysia (itu pun oleh salah seorang Mahasiswa yang aktif). Di komen video facebook itu, bahkan seorang mahasiswi Malaysia (yg juga aktif) bertanya : “ Ape sal die orang buat cam tu ea?..” (baca : Kenapa mereka berbuat begitu?). Kemudian, sang empunya video pun menjawab : “Entahlah… aku dengar, dia orang kata, kita curi budaya dia orang”. Nah, mari telaah komen barusan. Bahkan, setelah ada kejadian seperti itu pun, mereka masih tidak tahu menahu kasus yang sebenarnya. Yang mereka tahu, kita telah menuduh mereka “mencuri”. Itu saja. Saya yakin, anda semua bijak berfikir dan bisa menyimpulkan. Mengapa bisa begitu? Jawabannya tertera seperti judul point ke dua ini = Doktrin Media.
3. Klarifikasi. Semua masalah terletak pada point ini. Mari kita ambil sebarang satu atau dua contoh.1) Batik. Kalau kita ingin menelaah batik yang ada di Malaysia amatlah berbeda corak dengan batik kita. Jika kita tahu sejarahnya, bahwa batik yang singgah di Malaysia adalah batik bercorak bunga. Maka itulah merka mengembangkan corak tersebut hingga kini. Kalau begitu, mengapa dipermasalahkan? Seperti yang kita semua tahu, itu semua berawal dari ketidakjelasan unsur-unsur batik itu sendiri. Kita dan mereka hanya menyebut kata, Batik. Dan mereka pun tidak mengakui bahwa sebenarnya nenek moyang bahkan pendatang-pendatang yang membawa budaya itu sendiri adalah berasal dari Indonesia. Itulah yang menjadi akar masalah. Tapi, kita harus membatasi makna “mereka” itu tadi. Bahwa, sama seperti kita, orang-orang yang berfikiran sempit lah yang tidak mau menerima perbedaan. Huru-hara memperdebatkan apa yang dimilki siapa, dsb. Sesuai keterangan salah seorang sastrawan Negara Malaysia, Ia mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri, 70% dari budaya Malaysia adalah berasal dari budaya Indonesia. Salah satu buktinya, sebab itulah hanya Mak Yong, satu-satu nya budaya bergerak milik Malaysia yang boleh dipatenkan di UNESCO. 2) REOG. Masalah ini boleh dibilang berasal dari negeri Johor. Dimana, orang –orang jawa banyak sekali tinggal di sana. Masalahnya terbilang sederhana, masyarakat jawa yang ada di johor mempunyai nenek moyang orang jawa. Sehingga sekarang, ada yang masih memiliki ikatan saudara secara langsung dengan orang pulau jawa (eg. Ayah/ibu/nenek) yang rata-rata sudah berkewarganegaraan Malaysia maupun masyarakat yang memang secara langsung sudah tidak memiliki ikatan. Belum lagi para TKI/TKW yang bekerja di sana. Nah, mereka semua ini tentu saja mengetahui budaya masing-masing. Yang secara sadar atau tidak diturunkan ke generasi berikut. Yang mana, apabila ada kesempatan, seperti hari – hari besar, atau perayaan ultah negri (provinsi) dsb, hal –hal tersebut (bc : reog) akan ditampilkan di khalayak umum. Nah, tentu saja, bagi masyarakat awam, mereka mengira itu budaya mereka.
Bagaimana menyikapi semua polemic di atas? Tetap kekeuh adu argument di dunia maya? Tidak ambil pusing?
Berikut solusi yang boleh diketengahkan. Kebetulan, dua hari yang lalu, saya diundang sebagai panelis pada program sharing budaya dan sastra. Program ini banyak membahas tentang perkembangan sastra dan budaya di ASEAN. Juga diundang panelis dari singapura, Thailand dan brunei. Nah, dari hal ini kita dapat merumuskan, adalah salah satu cara bagi kita untuk mengukuhkan budaya dengan promosi secara langsung. Menariknya, pada malam penampilan puisi oleh panelis masing-masing Negara, sebagai pembuka dan penutupnya, kami semua disuguhkan oleh tari merak dan tari kipas dari jawa tengah.menarik bukan? Mengetengahkan budaya bangsa di ranah orang lain.
Sebentar, kelihatan sangat rumit. Mana mungkin hal tersebut dilakukan dengan mudah. Wong, kalau mau ke luar Negara, yo pake duit lagi?
Mulailah dari hal kecil. Contoh :
1. Menulis. Terbitkan paper- paper tentang budaya kita, dan promosikan. Nah, inilah sisi positif media. Sebarkan!
2. Survey. Buat survey perbandingan budaya, sehingga kita bisa mengetahui bagaimana keadaan budaya nasional.
3. Bentuk group seni. Kalau kita sendiri sudah tidak mengenal bahkan tidak menguasai budaya sendiri. Bagaimana kita ingin berargumen?
Terus terang, saya bangga menjadi WNI. Dengan kapasitas saya kuliah di luar negri, saya menjadi bersemangat untuk mempromosikan budaya kita. Kami gemar mengadakan pagelaran atau sejenis pesta budaya Indonesia dan mengundang khalayak di sini untuk menonton pertunjukkan bahkan membli pernak-pernik yang “truly Indonesia”.
Saya yakin, apresiasi budaya telah banyak di laksanakan di Indonesia, baik di sekolah maupun Universitas. Industri music pun mulai beragam dengan khasanah budaya. Yep, langkah yang sangat bagus, memasukkan unsur-unsur budaya dalam lagu band dsb.
Namun, sejauh ini pula, tidak bisa kita pungkiri, itu semua belum cukup, bahkan kita bisa melihat. Seni sastra tertumpu pada orang-orang non –sains.
Sebagai gambaran,-saya tidak tahu apakah di beberapa institusi pendidikan di Indonesia menerapkan ini atau tidak. Namun, di beberapa institusi Malaysia, pelajar diwajibkan mengambil keahlian seperti soft skills, teater, dan musik. Dan tahukah anda? Music yang paling banyak digemari adalah music tradisional seperti gamelan, rebana ubi, dsb. Hmm, mungkin kita bisa bercermin, masyarakat luar saja bersemangat untuk mempelajari budaya, yang kata kita itu semua milik kita. Nah, mengapa kita tidak?
Hal ini menarik menurut saya. Betapa segala sesuatu diapresiasi sebagai bentuk kecintaan. Nah, kapan lagi kita mencoba untuk mencintai budaya setulus hati?
Hint : Saya sendiri mahir bermain bonang di MY..;-)
IYC adalah wadah bersatu. Mari wujudkan pemuda intelek, berdedikasi lagi befikir kritis.;-)
Nah, sekarang, saatnya kita bercermin, sudahkah kita melakukan yang terbaik untuk mempertahankan budaya bangsa?
P.S : Tulisan di atas adalah hasil pandangan serta beberapa cungkilan selama saya di Malaysia. Kritik dan komen amatlah dihargai..;-) Hidup berwarna dengan perbedaan!

Share

Followers

 
;