Wednesday, April 21, 2010

presentasi ethnic ukm



SISTEM SOSIAL JAWA

1. Daerah Asal Kebudayaan Jawa
Daerah asal orang jawa adalah pulau jawa, yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1200 km dan lebarnya 500 km, terletak di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih 7 derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa dengan luas hanya 7% dari seluruh dataran kepulauan Indonesia.
Orang Jawa banyak mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau jawa, sebelah baratnya (yang hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi priyangan), seperti kita ketahui, adalah daerah sunda. Batas dari daerah jawa dan sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat digambarkan sekitar sungai Citandui dan sungai Cijulan di sebelah selatan, dan kota Indramayu di sebelah utara.
Hampir seluruh pulau jawa memang sangat padat penduduknya, bahkan pulau jawa yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia, adalah daerah asal kebudayaan Jawa.
2. Jumlah Orang Jawa
Laju pertumbuhan orang jawa
Walaupun sudah dimaklumi orang bahwa jumlah penduduk jawa sangat tinggi
, angka yang pasti tidak diketahui. Kita hanya dapat mengira-ngira saja berapa jumlah orang yang tinggal di pulau jawa, khususnya yang tinggal di daerah asal orang jawa, yaitu Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi, di daerah-daerah itu tinggal juga orang-orang yang bukan jawa. Di masa yang silam pun daerah itu tidak hanya didiami oleh orang jawa saja, lagipula, lebih dari satu setengah juta orang jawa, tinggal di luar daerah asalnya, karena mereka dibawa ke daerah jajahan Belanda
di Surinam (Kepulauan Karibia) dan Curacao di Amerika Selatan sejak abad ke – 18, dimana mereka mempertahankan kebudayaan mereka sendiri sehingga sekarang.
Ada juga yang dalam abad ke – 19 dikirimkan ke perkebunan-perkebunan Perancis di Kaledonia Baru, sementara beribu-ribu juga telah diserap oleh perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Utara sejak akhir abad ke – 19, dan beribu-ribu pula telah ditransmigrasi oleh Pemerintah Indonesia dari daerah-daerah yang padat di Jawa ke daerah-daerah yang masih kosong di hutan-hutan Sumatera Selatan serta daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu, masih ada beratus-ratus ribu orang Jawa yang telah pindah secara spontan ke Semenanjung Malaysia.
Migrasi dan Pemindahan Penduduk
Sudah diketahui bahwa Pulau Jawa mempunyai kepadatan penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, dan sejak pertengahan abad ke – 19, migrasi spontan maupun yang dipaksakan terhadap orang-orang Jawa ke pulau lain telah berlangsung. Sudah sejak tahun 1870 petani-petani Jawa dikontrak untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau dan tambang-tambang timah di Sumatera Utara dan Sumatera Timur.
Sesudah perang, Negara Republik Indonesia Merdeka tetap menjalankan pekerjaan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi, yang kemudian ditingkatkan menjadi Departemen Transmigrasi, yang mengelola soal-soal pemindahan penduduk dari dari daerah-daerah yang padat sekali di Jawa, Madura dan Bali, ke bagian-bagian wilayah Indonesia yang kurang padat. Namun ini tidak memecahkan masalah kepadatan penduduk karena jumlah penduduk yang memang sudah sangat padat, mencapai 52.885 orang serta kelahiran yang mencapai satu setengah juta orang setiap tahun. Oleh karena itu di tambahlah satu program lagi, yaitu program keluarga berencana.
Keluarga berencana. Program-program keluarga berencana di Indonesia berjalan sangat lamban pada awalnya. Ini disebabkan karena para pemimpin tidak menganggapnya sebagai masalah ekonomi Negara, hanya masalah kelebihan penduduk dan dapat diselesaika cukup dengan transmigrasi.
Baru pada setelah tahun 1965, setelah ada suatu pemerintahan yang memperhatikan perkembangan ekonomi secara rasional maka pemerintah mulai menangani masalah kependudukannya yang sudah sangat parah itu dengan mengadakan keluarga berencana.
Namun langkah-langkah pertamanya berjalan dengan mendirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana sangat lambat. Baru pada tahun 1970 kampanya-kampanye yang dilakukan secara besar-besaran di wilayah jawa dan bali.
Pentingnya usaha keluarga berencana untuk memecahkan masalah kependudukan pulau Jawa dalam kaitannya dengan usaha transmigrasi diperlihatkan oleh Widjojo Nitisastro dengan cara memproyeksikan pertumbuhan penduduk Indonesia berdasarkan 3 keaadaan alternative :
  1. Pertumbuhan penduduk pulau Jawa dalam tingkat kesuburan yang konstan, 2.
  2. mortalitas yang menurun cepat.
  3. tetapi dibarengi dengan usaha transmigrasi sebanyak 200.000 orang muda setiap tahun
Dibandingkan dengan jumlah orang Jawa di Indonesia jumlah orang Jawa di luar Indonesia tidak begitu banyak, hanya sekita 244.000 berdasarkan penelitian C.A Lockard. Jumlah ini tidak meliputi keturanan Jawa yang ada di Afrika Selatan dan Sri Lanka yang dibawa Belanda ketika masih menjajah. Juga tidak termasuk dalam hitungan adalah orang-orang jawa yang di bawa ke Muang Thai, Birma, dan Vietnam Selatan yang dibawa Jepang sebagai Romusha.
3. Bahasa Orang Jawa.
Bahasa kesusastraan dan bahasa sehari hari. Bahasa orang Jawa termasuk sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222) dan telah dipelajari dengan sseksama oleh sarjana-sarjana Inggeris, Jerman, dan terutama Belanda. Bahasanya berkembang dan dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatic yang khas berdasarkan kronologi enam fase di bawah ini;
  1. Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti kraton pada zaman antara abad ke-8 dan abad ke-10, di pahat pada batu atau diukir pada perunggu. Bahasanya mirip dengan karya yang berasal dari abad 10 sampai abad 14 yang sebahagian besarnya ditemukan di Jawa Timur dan sebahagian kecil di Jawa Tengah.
  1. Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan Jawa-Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Lombok. Sejak abad ke-14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dan menjadi mantap dalam abad ke 16 dan masih hidup sampai abad ke-20.
  1. Bahasa yang dipergunakan dalam kessusasteraan Islam di Jawa Timur. Kesusasteraan ini ditulis sejak zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu Jawa di daerah aliran sungai Bengawan Solo dalam abad ke-16 dan k eke-17
  1. Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa abad ke-17 dan 18 oleh orang Jawa sendiri disebut Jawa Pesisir.
  1. Bahasa kesusasteraan kerajaan Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karangan para pujangga keraton Kerajaan Mataram pada abad ke-18 dan 19, yang terletak di daerah aliran sungai Bengawan Solo..
  1. Bahasa Jawa masa kini, adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat orang Jawa dalam buku-buku serta surat kabar berbahasa jawa dalam abad ke-20 ini.
Tulisan Jawa. Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa yang panjang itu, orang jawa telah mengenal beberapa jenis tulisan.
Menurut para ahli Epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasastiyang berasal dari Dinasti Palawa yang menguasai daerah pantai-pantai India Selatan pada abad ke-4 sehingga disebut tulisan Palawa. Tetapi huruf yang digunakan para pujangga Jawa di abad ke -10 hingga 11 sudah mengalami beberapa perubahan dan menampakkan cirri khas Jawa. Dan huruf Jawa yang diajarkan di sekolah-sekolah di Jawa Tengah adalah berasal dari Zaman Mataram abad ke-19. Tulisan ini pernah digunakan dalam surat kabar bahasa Jawa yang pertama yang berjudul Bramartani pada tahun 1878.
Kesusasteraan Jawa juga ada yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, yaitu tulisan arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaannya terutama dalam karya-karya yang bersifat Islam. Namun kebanyakan orang Jawa sekarang menggunakan tulisan latin.
Beberapa Gaya Bahasa Jawa.
Gaya bahasa Jawa terkena mempunyai sistem yang bertingkat-tingkat dan sangat rumit. Bergantung kepada pangkat, umur, tingkat kedudukan dan tingkat keakraban. Menurut analisa linguistic, unsur-unsur yang menyebabkan ini terbagi kepada dua kategori :
  1. Perbedaan awalan atau akhiran yang lain
  2. perbedaan sintaksis kerena penggunaan partikel-partikel kalimat yang yang lain seperti kata tunjuk, kata ganti dan lain-lain.
Ada 3 gaya yang paling dasar, yaitu gaya tak resmi (ngoko), setengah resmi (madya), dan gaya resmi (krami). Lalu ada 6 gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tadi. Selain itu ada kosa kata yang terdiri dari kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat orang lain dan orang ketiga atau orang berkedudukan yang senior.
Masih ada juga bahasa kedaton atau badongan yang sangat berbeda dengan gaya bahasa yang lain, yang hanya digunakan dalam Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Sejak tahun 1916, sebuah gerakan berrnama Djawa Dipo yang dirintis oleh orang-orang Jawa yang ingin menghapuskan gaya-gaya bertingkat bahasa Jawa dan hanya menggunakan Ngoko sebagai bahasa dasar. Dari bagian Kramadewa, mendukung pula gaya Krami. Tetapi, kebanyakan orang Jawa yang lahir sesudah perang Dunia ke 2, tidak lagi berusaha menguasai sistem itu.
Logat-Logat Bahasa Jawa
Bahasa Jawa memilki logat yang berbeda berdasarkan geografi. Tetapi, karena mungkin dahulu sungai digunakan untuk transporttasi maka sepanjang daerah sungai kebanyakan idiomnya sama yang berbeda dengan daerah aliran sungai lain. Kita dapat membedakan hal ini dalam beberapa bagian :
  1. aliran Sungai Serayu (bagian Barat) berasal dari komplek Pegununga Dieng, Sundoro, dan Sumbing, yang mengalir berkelok-kelok ke arah Barat Daya, dan bermuara di Samudera Hindia.
Orangnya mengucapkan logat Banyumas, dan perkataan sering kali diakhiri dengan pita suara tertutup.
  1. aliran Sungai Opak dan Praga, dan di Hulu Bengawan Solo. Berasal dari komplek gunung-gunung berapi Merbabu dan Lawu, dipergunakan logat Jawa Tengah, Solo, Yogya. Dan bahasa di sini dikenal dengan bahasa Jawa yang beradab dan dengan kerumitan yang luar biasa.
  2. daerah Jawa Pesisir, di kota-kota Pantai Utara. Logat ini tidak beda jauh dengan Solo-Yogya hanya saja tidak begitu rumit.
  3. Daerah Aliran Sungai Brantas (sebelah Timur) terdiri dari Madiun, Kediri, Lumajang, dan Jember. Logat yang diucapkan sangat dipengaruhi oleh Solo-Yogya bahkan sangat mirip sekali. Kecuali bagian Hulu, yang mempunyai logat yang khas.
  4. Daerah sebelah Barat Pulau Jawa (Sunda), terdapat logat Banten yang mer\upakan suatu logat Jawa yang khas. Mencakup daerah sebelah Barat Jakarta hingga kota Merak, sampai Rangkaslitung dan Padeglang. Orang disini berbicara dengan 2 bahasa, yakni Jawa Banten dan Sunda.
4. Keanekaragam Regional dari Kebudayaan Jawa
Walaupun Orang Jawa memandang budaya mereka homogen, tapi kebudayaan regional Jawa sangat banyak. Ini dilihat dari unsur-unsur seperti makanan, bahasa, upacara, dan kesenian. Kebudayaan yang hidup di kota Yogya dan Solo berakar dari Keraton, dan memiliki garis sejarah sejak 4 abad yanaga lalu, serta memiliki kesenian yang maju. Sedangkan kebudayaan Pesisir yang meliputi Indramayu/Cirebon sampai ke Gresik di Timur, social budaya mereka dipengaruhi agama Islam, dan juga mempunyai sejarah sepanjang 4 abad. Orang Jawa hanya membedakan sub daerah budaya Barat yang pusatnya di Cirebon dan sub daerah budaya Timur yang berpusat di Demak. Namun ada pula kebudayaan Jawa khusus di daerah Surabaya yang dianggap sebagai pintu masuk gagasan baru dari pusat kebudayaan Islam seperti Mesir.
BAB I
SISTEM JARINGAN KEKERABATAN ORANG JAWA DI DAERAH PERDESAAN
Fungsi kekerabatan orang jawa di daerah perdesaan. jaringan kekerabatan orang jawa terbatas pada asas kegunaan yang nyata dalam pergaulan,pengenalan dan daya ingat seseorang ,dan biasanya tidak tergantung pada suatu sistem normatif atau konsepsi,dan karena itu bagi tiap orang jawa wujud jaringan kekerabatan itu berlainan ,tergantung keadaan masing-masing.pada umumnya seorang penduduk desa jawa hanya berhubungan dengan anggota keluarga intinya,dengan para saudara kandung orang tuanya serta anak-anak mereka,dengan kedua kakek dan nenek dari pihak ayah maupun ibunya,dengan anak-anak saudara-saudara kandungnya sendiri,dan dengan para iparnya .
Hubungan kekerabatan itu terutama berfungsi dalam sektor-sektor kehidupan sekitar berbagai aktifitas rumah tangga.kegunaan dasar manusia untuk bergaul akrab,yang dapat memberikan rasa hangat dan juga dapat menjamin hari tua itu diperolehnya oleh keluarga intinya.keluarga inti ini kadang-kadang diperluas dengan keluarga inti dari anak wanita yang menentap secara uxorilokal,keluarga inti anak pria yang yang menetap secara virilokal,atau keluarga –keluarga inti anak pria dan wanita yang menetap secara utrolokal.
Keluarga-keluarga luas ini merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang benar-benar berdiri sendiri,dalam arti bahwa kesatuan sosial memiliki ekonomi rumah tangga serta hak miliknya.serta bekerja sama dalam berbagai aktifitas lain,termasuk mengadakan perayaan-perayaan yang bersifat adat maupun keagamaan.
Pada zaman sekarang,banyak masyarakat jawa bergantung terhadap pranata lain dalam masyarakat yang tidak berdasarkan hubungan kekerabatan.untuk perbaikan rumah tangga ada pranat sambatan ;dan dengan menunjukkanya kegiatan-kegiatan berdasarkan sambatan akhir-akhir ini,sudah banyak tukang-tukang yang dapat dipakai jasanya dengan upah yang rendah.untuk membina para didikan generasi muda,sejak lama sudah ada sekolah-sekolah umum.kegiatan-kegiatan pertanian yang di waktu yang lalu banyak berdasarkan gotong royong,berupa jogan,bawon,atau lain,sekarang sudah pula dapat dilakukan oleh para buruh tani yang sangat banyak jumlahnya.
Satu-satunya kegiatan yang masih melibatkan para warga keluarga adalah penyelenggaraan perayaan-perayaan adat dan keagamaan.adapun fungsi yang bersifat kadang kala dari keluarga luas ini seringkali juga tidak dapat menyamai bantuan spontan yang diberikan oleh para tetangga pada waktu tetulung layat.
Seperti halnya semua sistem kekerabatan,sistem kekekrabatan jawa mempunyayi juga fungsi circumscriptive,yaitu yang dapat memberikan semacam identitas kepada warganya,yang dapat meninggikan kedudukan sosial serta gengsinya yang menentukan hak serta kewajibanya warisan nenek moyangnya,serta pembagian warisanya kepada keturunannya.walaupun demikian,selain keluarga luasnya itu,sudah sejak lama dari beberapa pranata sosial lain dalam masyarakat desa di jawa yang dapat memberikan identitas sosial;kedudukan dengan gengsi kepada warganya.
Mengenai warisan,jumlah rata-rata harta yang di miliki oleh seseorang penduduk desa jawa biasanya sedemikian kecilnya sehingga sistem pembagian yang berusaha agar harta tersebut jatuh hanya dalam suatu keluarga inti yang terbatas saja,tidak dapat mencegah habisnya harta tersebut dalam hanya dua generasi saja.
Warga kerabat di luar keluarga inti atau keluarga luas terbatas,tidak banyak artinya dalam kehidupan seseorang petani jawa;tetapi sebelum saya melanjutkan uraian saya mengenai harta dan warisan. Berikutnya saya akan menguraikan dua macam kelompok kerabat yang terdapat di masyarakat jawa;
Kindred. Orang jawa di daerah-daerah bagelen dan negarigung membuat perbadaan yang tajam antara dua macam kelompok kekekrabatan bilateral,yaitu:yang disebut dengan istilah-istilah yang agak samar-samar seperti keluarga,sanak sedherek,golongan,dan yang disebut dengan istilah-istilah alur waris atau trah.sanak sedherek adalh kelompok kekerabatan kadang kala bilateral yang para warganya terikat hubungan keturunan ataupun perkawinan,dan terutama tinggal satu desa.
Sanak sedherek ini mirip dengan apa yang dalam ilmu antropologi sosial disebut kindred,walaupun sanak sedherek berpusat pada suami istri tertentu,dan biasanya tidak pada seorang “ego”.kecuali itu dalam suatu masyarakat biasanya hanya ada sejumlah kindred yang terbatas,jadi tidak sebanyak adanya individu.suatu survei kecil yang saya lakukan terhadap 36 keluarga inti yang di pilih dari berbagai tingkat sosial yang berbeda di suatu desa di daerah bagelen dalam tahun 1959,menunjukkan bahwa 11 keluarga saja yang merupakan pusat dari 11 kindred yang ada dalam komuniti itu,sedangkan ke 25 keluarga lainnya merupakan dari salah satu dari ke 11 cindred tadi.setiap kindred menggunakan nama dari keluarga yang merupakan pusatnya.
Alur waris. Alur waris adalah suatu kelompok kekerabatan ambiliner yang berpusat kepada satu nenek moyang,dan warga alur waris mempunyai kewajiban mengurus makam nenek moyangnya serta membiayai slametan-slametan(kanduri) serta pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan pemeliharaannya.
Walaupun warganya tersebar luas.setiap alur waris biasanya mempunyanyi seorang warga yang tinggal di desa nenek moyangnya,yang mendapat tugas untuk melakukan semua pekerjaan upacara dan slametan yang bersangkut paut dengan pemeliharaan makam nenek moyang itu.
Biasanya keberhasilan suatu kelompok ahli waris untuk menyatukan suatu jumlah kerabat yang besar atau yang kecil itu tergantung dari perhatian serta aktifnya orang yang bertugas sebagai penghubung itu.seorang penghubung yang aktif dan lincah dan aktif biasanya dapat membina hubungan dengan warga alur waris yang telah lam meninggalkan desa dan yang walaupun telah menjadi mantap dalam lingkungan sosialnya yang baru,tidak lupa dengan kerabat asalnya.
Di daerah jawa tengah bagian selatan dan mancanegari,sanak sedherek berpusat sekitar suatu keluarga inti tertentu,yang menjadi pusat pergaulan sosial karena berbagai hal,misalnya karena kepalanya merupakan seorang yang besar pengaruhnya.memang,sembilan dari ke 11 kepala keluarga sanak sedherek dalam sampel penelitian tahun 1959 itu adalah orang yang mempunyanyi pengaruh besar,baik secara tradisional maupun karena perkembangan sosial politik yang baru.
Suatu keluarga ada kalanya juga menjadi pusat dari suatu kelompok sanak sedherek karena memiliki rumah besar.enam dari ke 11 keluarga di atas tersebut memang mendiami rumah dengan pendapa yang terbuka atau emper yang cocok untuk mengadakan perjamuan atau mengumpulkan orang banyak.tiga orang adalah penghubung dari kelompok alur warisnya masing-masing,dan karena itu mereka sering berhubungan dengan kaum secara teratur kerabat meraka pada berbagai kesempatan.akhirnya hampir semua dari ke 11 kepala keluarga itu adalah orang yag banyak bergaul,gemar berpesta,dan suka mengadakan pertemuan-pertemuan.
Kepala dari keluarga yang merupakan pusat suatu kelompok sanak dherek itu biasanya merupakan orang yang mengambil suatu inisiatif untuk mengadakan aktifitas kindred.secara umum kepala keluarga inti yang yang tergabung dalam suatu kelompok sanak sedherek bebas untuk menentukan sendiri apakah ia akan mengadakan suatu slametan yang berhubungan dengan lingkaran hidup dalam keluarganya untuk menempati suatu rumah baru atau untuk peristiwa lainnya.walaupun demikian biasanya kepala dari kelompok sanak sedhereklah yang menentukannya dan yang akan membujuk keluarga bersangkutan untuk mengadakan perayaan.
Menurut para informan suatu kelompok sanak sedherek kolateral meliputi semua kerabat hingga derajat kedua,yaitu misanan.walaupun demikian hal itu dalam kenyataan tidak begitu jelas.orang desa masih menganggap misanan sebagai keluarga dekat,walaupun mereka sering sudah tidak saling mengenal karena tinggalnya berjauhan bisa menjadi jauh,sedangkan keluarga jauh dapat menjalin hubungan yang akrab dengan kelompok sanak sedhereknya karena kebetulan tinggal di desa yang sama.
Akibat dari angka perceraian yang tinggi di dalam masyarakat-masyarakat desa di jawa,kebanyakan pria di desa serta semua kepala keluarga dari ke 11 kindred dalam sampel,telah menikah paling sedikit dua kali.ada beberapa kelompok sanak sedherek yang masih beranggotakan kerabat dekat dari bekas istri atau suami para warganya,yang juga masih teratur mengunjungi pertemuan-pertemuan sanak sedherek itu.
Pada pertemuan semacam itu suatu kelompok sanak sedherek jarang sekali lengkap;namun kecaman terhadap tidak hadirnya seorang anggota tergantung pada pentingnya pertemuan.tidak hadir pada suatu pemakaman misalnya sangat di cela.
Orang yang tergabung dalam lebi dari satu kelompok sanak sedherek kadang-kadanh menghadapi kewajiban berpatisipasi pada aktifitas kelompok itu,yang jatuhnya pada waktu yang bersamaan.
Hak milik dan warisan. Para ahli etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui kesukaran dalam mendeskripsi adat pembagian warisan dalam masyarakt jawa,walaupun para ahli hukum adat telah berhasil mencatat peraturan-peraturan normatif mengenai hukum adat waris jawa dengan rapi.(djojodigeno,tirtawinata 1940),bahwa anak wanita memperoleh warisan sebesar separoh dari bagian yang di peroleh anak pria.perbandingan yang sam juga berlaku dalam pembagian warisan apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak.hak milik suami pribadi suami diambil kembali oleh kerabat suami,dan hak milik pribadi istri juga diambil kembali oleh kerabat istri.hak milik mereka bersama dibagi menurut perbandingan 1:2,dimana kerabat istri menerima separoh dari bagian yang diterima kerabat suami.
Norma pembagian harta warisan yang tampak rapi ini jarang dilaksanakan dalam kenyataan.tergantung pada keadaan.orang yang beragama islam kuat ,biasanya akan membagikan harta warisan berdasarkan hukum islam.yang mengatakan bahwa para kerabat pria dari orang yang meninggal,berhak menerima bagian terbesar dari warisan,atau berdasarkan hukum adat jawa,yang memberi dua kemungkinan,yaitu:berdasarkan asas sepikul,atau asas bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya.
Cara yang terbaik untuk mendeskripsi pembagian hak waris orang jawa. Ialah menganggapnya suatu proses yang terjadi secara lambat dan bertahap.biasanya seluruh kekayaan suatu keluarga sudah di bagikan kepada anak-anak pada waktu mereka masih muda.biasanya harta-harta ini berupa;tanahh pertanian,rumah,pohon buah-buahan,binatang peliharaan,perhiasan,pusaka,tanah jabatan yang diwariskan bersama jabatan.
Tanah pertanian dapat di wariskan kepada anak pria maupun anak perempuan.harta benda lain kecuali tanah pertanian berupa pohon buah-buahan sering juga dibagi-bagikan kepada anak-anak yang sudah menikah,tetapi pohon-pohon yang terbaik biasanya mereka pertahankan untuk mereka sendiri.ternak,yaitu kerbau,sapi,kambing,biri-biri,dan unggas,juga di wariskan kepada anak-anak berdasarkan pembagian yang rata,yang meerka terima apabila mereka menikah.harta berupa perhiasan,yang dalam masyarakat desa hanya dimiliki oleh para istri petani kaya atau pamong desa,biasanya dibagi-bagikan kepada anak-anak wanita pada waktu seseorang ibu merasa dirinya sudah tua.dan menurut adat jawa harta pusaka sedapat-dapatnya dipertahankan sebagai satu unit yang tidak terpisah-pisah,dan biasanya diberikan kepada anak pria yang tertua.
Biasanya benda pusaka orang jawa adalah sebuah keris.dan yang terakhir adalah pembagian warisan tanah,sering kali orang tua masih merubah keputusan atas kepemilikan tanah tersebut,akan tetapi anak-anak yang sudah dewasa biasanya akan berusaha mempertahankan bagian mereka,dan mendesak orang tuanya untuk membalik-namakan tanah warisan itu menurut ketentuan hukum yang berlaku.
BAB II
Perbedaan Sosial-Ekonomi di Desa, Pemerintah Desa
dan Himpunan-Himpunan
Tanah dan Keturunan
Dalam konteks kebudayaan Jawa secara keseluruhan, petani-petani dari daerah pedesaan dipandang sebagai satu golongan yang disebut tiyang tani. Bila kita perhatikan lebih seksama, kita lihat adanya berbagai perbedaan sosial-ekonomi di dalam masyarakat desa yang merupakan dasar dari suatu pelapisan sosial. Perbezaan itu secara tradisional tampak dari pemilikan tanah dan keturunan, tetapi sejauh ini sistem pelapisan social dalam masyarakat Jawa berdasarkan analisa sosiologi atau antropologi belum ada. Orang jawa membezakan antara lima lapisan social, yaitu: (1) para pendatang yang tidak mempunyai tanah atau rumah, dan karena itu disebut pondhok (pondhok sebenarnya berarti “orang yang tinggal di rumah orang lain”); (2) penduduk desa yang tidak memiliki tanah dan hanya memiliki rumah dan pekarangannya, yang disebut lindhung(para tanggungan seorang kuli); (3) para pemilik tanah yang disebut kuli; (4) para keturunan penduduk desa yang tertua (tiyang baku); (5) para anggota pamong desa (prabot dhusun), dan suatu golongan penduduk yang biasanya dipandang secara terpisah yaitu para santri.
Pondhok
Para pondhok sejak lama merupakan golongan social yang terbesar dalam desa (kira-kira 75% sampai 80%) yang berasal dari daerah-daerah bencana alam atau yang meninggalkan desanya sendiri karena di sana terjadi eksploitasi ekonomi, karena tekanan politik, atau karena masalah social. Dalam melebihi batas yang wajar, di berbagai bagian pulau Jawa, tekanan-tekanan akibat jumlah penduduk yang terlalu besar itu mendorong orang untuk meninggalkan desanya. Para imigran yang tidak memiliki tanah itu terpaksa mondhok (tinggal pada orang lain) di desa yang mereka datangi, di tempat penduduk desa. Sebagai gantinya, mereka harus bekerja untuk keluarga yang ditumpanginya, dan dengan demikian menjadi tanggungannya juga. Selang beberapa waktu, statusnya mungkin menjadi lebih baik sehingga mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri, dan menjadi warga golongan social yang lebih tinggi.
Sebaliknya, banyak pondhok yang selama beberapa angkatan tetap merupakan tanggungan orang lain; kadang-kadang juga terjadi bahwa seorang petani kaya pada suatu ketika kehilangan semua harta kekayaannya, sehingga ia terpaksa hidup sebagai seorang pondhok.
Lindhung
Lindhung adalah oraang-orang yang juga masih menggantungkan diri kepada orang lain, karena sebagai pemilik sebuah rumah denga pekarangan saja, mereka tidak mempunyai sumber penghasilan lain kecuali mencari upah sebagai buruh di tanah orang lain. Para lindhung ini banyak yang semula menjadi pondhok, dan naik derajatnya karena usaha mereka; ada yang mempunyai rumah dengan pekarangan karena mewarisinya.
Kuli
Para kuli adalah petani-petani yang menguasai sebidang tanah yang sebenarnya merupakan sebagian dari tanah milik raja atau pemerintah yang diberikan sebagai kompensasi untuk jasanya terhadap raja atau negara. Di samping itu, kuli tentu mungkin saja mempunyai tanah yang diwarisinya dari keluarganya, atau yang dibukanya sendiri, atau mungkin juga dibelinya sendiri.
Tiyang baku
Para pemilik tanah yang mewarisi tanah keluarga dianggap sebagai keturunan penduduk tertua desa (cakal bakal), dan mereka ini mendapat sebutan tiyang baku. Hubungan mereka dengan cakal bakal yang disembah oleh seluruh penduduk desa itu sering kali dapat mereka buktikan dengan memiliki sebuah rumah kuno tau benda pusaka, atau dengna hubungan mereka dengan makam cakal bakal itu. Walaupun demikian, sekarang banyak tiyang baku yang sudah kehilangan tanah mereka di desa. Namun, tiyang baku yang sudah menjadi miskin akibat kehilangan tanah mereka tetap dipelakukan secara hormat. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa asas keturunan masih lebih penting untuk mengukur gengsi seseorang daripada pemilikan salah satu sumber ekonomi desa yang utama, yaitu tanah.
Perabot Dhusun
Para anggota pamong desa, atau perabot dhusun, hanya terdiri dari beberapa keluarga saja, yang juga merupakan golongan social yang tertinggi dalam komunitas desa. Seorang kepala desa yang pada umumnya disebut lurah, sejak dulu memperoleh kedudukannya berkat pilihan para penduduk desa yang sudah dewasa, tanpa perlu diketahui oleh raja. Hanya di daerah-daerah di mana raja mempunyai kepentingan secara kangsung saja, misalnya desa-desa yang letaknya dekat kota kerajaan, diperlukan izin untuk pengangkatan seorang kepala desa. Di daerah-daerah yang dihadiahkan oleh raja kepada para anggota keluarganya serta para bangsawan atau pegawainya. Ketika pulau Jawa secara langsung diperintah oleh pemerintah Kolonial Belanda , para kepala desa harus disetujui pengangkatannya oleh kepala distrik, dan dalam system pemerintah sekarang, oleh camat. Dengan dihapuskannya system patuh sejak tahun 1918 berlaku pemilihan dan pengangkatan kepala desa yang sama untuk hampir seluruh Pulau Jawa.
Santri
Di setiap desa Jawa ada sebagian dari penduduknya yang mempunyai orientasi yang lebih kuat terhadap agama Islam, daripada penduduk desa lainnya. Orang-orang yang termasuk kategori penduduk itu dinamakan orang santri, yang mula-mula berarti “siswa-siswa sekolah pesantren”, atau “penghuni kompleks pesantren”. Sekarang istilah itu berarti “seseorang yang taat pada agama Islam, yang mengikuti ajaran agama dengan sungguh-sungguh”.
C. Geertz adalah sarjana yang pertama-tama memperkenalkan istilah tersebut dengan arti yang sama seperti tersebut di atas dengan terbitnya buku The Religion of Java (1960). Ia juga memperkenalkan istilah lawannya, yaitu abangan, yang merupakan golongan orang Jawa yang menganut keyakinan konsep-konsep dan system upacara serta ritus Hindu-Jawa yang tercampur dengan keyakinan konsep-konsep dan system upacara serta ritus agama Islam.
BAB III
KEBUDAYAAN JAWA DI KOTA
  1. Golongan- Golongan social dalam masyarakat
Kota-kota di jawa tengah dan jawa timur belum banyakd dikaji, dan kecuali kajian dari kota tua Kota Gede oleh H.J Van Mook . kajian mengenai orang-orang tionghoa di semarang oleh D.E wIllmott(1960), dan kajian mengenai status kekuasaan dalam suatu kota di jawa tengah oleh L.H. Palmier (1960), satu-satunya kajian holistic mengenai suatu kota jawa adalah yang pernah dilakukan oleh C.Geerz( 1965).
Kecuali satu atau dua saja, kota-kota di Jawa umumnya merupakan pusat pemerintahan yang bersifat pra-industri, dengan pola-pola tata-kota dan pemukiman yang sama.
Pusat dari suatau kota pemerintahaan biasanya merupakan suatu lapangan yang luasnya kurang-lebih 100 meter persegi , yang di sebut Alun- alun. Ditengahnya biasanya terdapat dua buah pohon beringin yang melambangkan fungsi mengayomi dari pemerintahan , rumah tinggal kepala pemerintahan daerah , yaitu bupati, dan zaman colonial rumah milik atasannya, seorang Belanda yaitu assistant resident, dibangun berhadap-hadapan di dua tepi alun-alun itu. Di dua tepi lainnya di bangun kantor-kantor pemerintahan yang terpenting, yang melambangkan kekuasaan dan kewibawaan pemerintah, seperti kantor pemerintah daerah , kantor polisi, pengadilan, penjara dan rumah gadai. Kemudian di baris yang kedua sekeliling alun-, alun terletak rumah-rumah yang di huni oleh para pegawai Negara, dokter kabupaten, kepala rumah gadai , orang-orang belanda yang bekerja di kantor-kantor swasta dan lain-lain. Sekolah dasar umum biasanya juga terletak di barisan kedua ini.
Dalam baris berikut nya tinggal para pegawai pemerintahan bangsa indo dan jawa. Bagian ini biasanya juga terpotong oleh suatu jalan raya dimana terletak pasar dan took-toko tionghoa , sehingga merupakan bagian kota dimana terdapat kegiatan ekonomi. Apabila jalan kereta api kebetulan melewati kota itu, maka stasiun kereta api dan perumahan buruh kereta api pun berada di barisan itu. Bangunan-bangunan ini seringkali merupakan bagian tersendiri dari suatu kota.
Dalam suatu kota biasanya terdapat juga sebuah gereja bagi orang eropa dan orang indo, dan sebuah mesjid yang biasanya dikelilingi oleh pemukiman orang jawa yang taat beragama islam.
Dalam barisan-barisan berikutnya sekeliling alun-alun terdapat bagian-bagian kota yang dihuni orang jawa yang tidak begitu kaya, sedangkan dalam lingkaran-lingkaran yang lebih jauh dari pusat kota adalah tempat tinggal orang-orang yang termasuk golongan rendah, yang rumahnya biasanya terbuat dari bambu. Kampung-kampung tempat tinggal golongan rendah ini merupakan batas kota, dengan pekarangan-pekarangan yang rimbun dan teduh, atau lingkungan berupa tanah terbuka dan sawah-sawah. Sampai sekarang wajah kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur belum banyak berubah, bedanya sekarang ialah bahwa jumlah penduduk kota-kota itu sudah lebih banyak, sehingga kampung-kampung di pinggir kota menjadi sesak padat,dan pekarangan-pekarangan semula luas dan rimbun juga mulai hilang.
Seperti telah disebutkan dalam bab II pada hlm. 75-76, setelah orang Belanda dan orang Indo meninggalkan Indonesia dengan berakhirnya Perang Dunia ke II, maka orang Jawa yang tinggal di kota pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga lapisan social, yaitu: (1) golongan orang biasa dan para pekerja kasar. (2) golongan pedagang dan (3) golongan pegawai pemerintah yang bekerja di kantor pemerintah daerah, di instansi-instansi pemerintah, dan orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan kepegawaian, yang bekerja dibelakang meja tulis. Sebelum perang dunia ke II, kota Yogyakarta dan Surakarta, di Negarigung, dan di Cirebon di Daerah Pesisir Barat, masih ada satu golongan social lain, yaitu kaum bangsawan Jawa.
Penduduk kota yang terbanyak jumlahnya adalah para pekerja kasar (yang alit), yaitu para pedagang kecil, buruh kecil, dan tukang-tukang yang banyak ada di pasar, dipinggir jalan, atau di warung-warung. Diantara para pedagang kecil ada petani-petani yang belum berakar dikota, yang masih hilir mudik antara desa dan kota tiap hari. Maereka bejualan buah-buahan dan sayur mayor, palawija, hasil pekarangan rumah, hasil kerajinan tangan industri rumah tangga, baik di pasar maupun dipinggir jalan. Karena masih menganggap desa mereka sebagai panggkal, mereka belum berakar di kota.
Tiang Alit yang menjadi buruh kecil dikota adalah mereka yang melakukan pekerjaan kasar . Namun perlu diperhatikan bahwa diantara berbagai jenispekerjaan yang mereka lakukan , ada juga yang memerlukan pengalaman dan keahlian. Pekerjaan yang tidak memerlukan banyak keahlian misalnya pekerjaan sebagai kuli mengangkut barang , tukang becak dan sebagainya. Diantara mereka aa juga yang menjadi petani di desa, dan karena itu belum sepenuhnya berakar di kota. Mereka hanya datang ke kota secara musiman , dan masih menganggap diri mereka sebagai penduduk desa asalnya. Pekerjaan tiyang alit yang sudah memerlukan lebih banyak pengalaman dan sekedar keahlian , terutama bagi para wanita adalah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai buruh-buruh pabrik atau proyek –proyek bangunan , sedangkan pekerjaan yang memerlukan keahlian yang sederhana seperti pekerjaan sebagai tukang becak, tukang tambal ban, buruh kereta api tukang cukur, sampai pekerjaan yang memerlukan keahlian yang lebih complex, seperti pekerjaan sebagai tukang jahit , montir dan sebagai nya, dilakukan oleh buruh atau tukang yang masih dianggap golongan tiyang alit . buruh atau tukang seperti itu biasanya sudah menganggap diri orang kota , dan sudah melepaskan identitas mereka dengan desa asalnya.
Kebanyakan penduduk kota tersebut di atas tinggal didaerah-daerah miskin di kota yaitu kampong-kampung yang mirip pemukiman di desa. Rumah di kampong itu pada umumnya dibangun dari kayu dan bambu yang dikelilingi halaman yang penuh dengan pohon-pohonan buah maupun pohon-pohon hias. Daerah-daerah kampong ini kemudian berkembang menjadi daerah-daerah kota yang di huni oleh orang-orang miskin.
Sesudah perang , proses urbanisasi meningkat dengan membanjirnya beratus-ratus orang dari daerah pedesaan. Kebanyakan dari pendatang-pendatang itu tentu berusaha menetap di kampong-kampung tadi, agar mereka dapat berada dekat dengan pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian kampong-kampung tersebut makin lama makin sesak saja. Setelah kampong-kampung itu tak dapat lagi menampung pendatang baru, para pendatang tersebut mulai mendirikan gubuk-gubuk di tanggul-tanggul dan saluran air di dalam kota, atau di tepi rel kereta api.
Pokoknya di sana ada tempat kosong ,terutama bila tempat itu berada dekat suatu sumber air jembatan serta gerbong-gerbong kereta api yng tidak terpakai merupakan tempat tinggal ideal bagi mereka yang tidak memiliki tempat untuk berteduh . oleh karena itu bagian-bagian kota yang dihuni penduduk miskin juga merupakn begian-bagian kota yang terpadat,dengan penduduk yang mata pencariannya dianggap paling rendah dan memilukan, yaitu sebagai pemungut puntung rokok, pengorek tong sampah , penggali pasir, pencopet dan jenis-jenis pekerjaan lain yang bertentang dengan nilai hokum.
Para pedagang pribumi di kota-kota jawa disebut sodagar . mereka pada umumnya melakukan aktivitas perdagangan dalam sector-sektor yang belum dapat diisi oleh orang tionghoa, yaitu perdagangan tengkulak hasil bumi , seperti misalnya tembakau yang dibawa adalah bahan tekstil. Barang kerajinan rumah tangga dan ikan asin.
Ada juga saudagar yang memiliki usaha yang lebih besar , seperti suatu perusahaan batik tulis, yang mempekerjakan sebanyak 15 sampai 30 tukang batik wanita. Ada juga yang berhasil dalam perusahaan rokok kretek. Perusahaan – perusahaan semacam ini biasanya juga memasarkan sendiri barang produksinya, tidak hanya di kota di mana pabrik itu berada, tetapi sampai juga ke kota-kota lain, di mana mereka menempatkan seorang kenalan untuk menjalankan usaha mereka.
Para sodagar jawa terutama sangat taat beragama islam, dan pandangan hidup mereka yang sangat didasari oleh agama itu juga mempengaruhi gaya hidup mereka.mereka taat bersembahyang lima waktu, selalu melakukan sembahyang jumat di mesjid, tidak makan daging babi, tidak mengadakan upacara slametan seperti orang priyayi.
Mereka selalu berusaha melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang di perintakan oleh agama islam. Dalam melanjutkan pendidikan keluar negeri mereka cenderung untuk lebih memilih Negara – Negara Islam seperti ke Kairo dan Mekah. Khusus di Jawa mereka bertempat tinggal di daerah yang khusus dekat dengan mesjid, dikenal dengan nama Kauman. Para penduduk Kauman ini mempunyai berbagai jenis profesi tetapi mereka tentu lebih taat kepada agam islam.
Kelas social tertinggi yang tinggal di pusat kota terdiri dari para pegawai negeri, yang sebelum Perang Dunia ke I disebut priyayi. Priyayi ini dibedakan menjadi 2 golongan, yakni:
1. Priyayi Pangreh Praja yakni golongan para pejabat Pemerintah Daerah, yakni orang – orang yang paling tinggi gengsinya diantara para priyayi lainnya ysng disebabkan karena sifat kebangsawan mereka.
2. Priyayi Non Pangreh Praja yakni golongan orang –orang terpelajar yang berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyat alit di kota yang berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan.
Sebelum Perang Dunia ke II, di banyak kota Jawa Tengah dan Jawa Timur ada segolungan priyayi yang terpandang secara khusus, yaitu para pegawai pemerintah serta orang –orang professional yang memimiliki gelar – gelar perguruan tinggi,seperti dokter, hakim dll. Kedudukan istimewa yang mereka dapatkan disebabkan jumlah mereka sangat terbatas.
Sesudah Perang Dunia ke II, kraton – kraton di pulau Jawa kehilangan kekuasaan mereka atas daerah mereka masing – masing, kedudukannya sebagai pusat orientasi nilai – nilai budaya Jawa, sebagai pusat dari adat istiadat dan kesenian Jawa. Keadaan ini juga turut membuat mereka kehilangan kedudukan mereka yang tinggi dimata masyarakat.
BAB IV
ILMU GAIB, ILMU SIHIR DAN ILMU PETANGAN
Asas – Asas Ilmu Gaib (ngelmi) dan Ilmu Sihir. Ilmu ini merupakan sub-sistem dari religi pada orang Jawa dan dianggap keramat. Perbedaan ngelmi dengan religi terdapat dari orang yang melakukannya. Dalam ngelmi diperlukan sikap yang berbeda dalam menghadapi kekuatan – kekuatan gaib dengan mengucapkan mantra – mantra sekehendak hati (gadhah pikajeng). Sedang orang yang melakukan religi, ia lebih menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Berbagai system keyakinanorang Jawa mengandung konsep mengenai hubungan jalin – menjalin antara aspek alam semesta dan lingkungan social serta spiritual manusia. Keadaan inii hal yag menyebabkan mereka memiliki asas – asas “pikiran asosiasi prelogik”. Berdasarkan sisitim ini berbagai ahl yg terdapat dalam lingkungan alam serta kehidupan social budaya seseorang, seperti misalnya bagian2 tubuh, sifat-sifat kepribadian orang, keadan perasaan orang, hari hari pasar, makanan dan minuman, keselamatan, pekerjaan, plaet2, benda2 luar angkasa alin, dewa dewa mahluk mahluk s dan mahluk halus dan sebagainya. Diklasifikasikan menjadi lima kategori pokok. Seorang ahli yang minat pada kebudayan jawa, yaitu FDE Van Ossenbruggen adalah orang yang pertama yang menyinggung mengenai “sistim klasifikasi primitive”, atau sistim klasifikasi prelogik, orang jawa. Van Ossenburgge n mendasarkan diri pada hipotesa yang di ajukan oleh E dan M.Mauss bahwa pikiran prologik manusia pada awal perkembangan kebudayaan membayangkan bagian- bagian dari masyarakat sebagai dasar dari kerangka berpikir, di dalam lana harus diklasifikasikan semua konsep yang dikenalkan nya dan semua gejala yang ada dalam lingkungan nya.
Orang jawa membagi masyarakatnya kedalam 5 bagian yang ditentukan oleh ke empat arah mata angin dan titik pusatnya. Klasifikasi itu sendiri sudah dengan sendirinya terpahat di dalam jiwanya, yang dipengaruhi oleh asas-asas fikiran asosiasi prelogik. Hal ini yang menyebabkan bahwa orang menyangka ada suatu kaitan yang erat antara gejala-kebetulan mirip dalam hal bentuk atau warnanya yang biasa disebut dengan istilah yang mirip bunyinya. Orang jawa yang condong untuk percaya kepada ilmu gaib juga yakin bahwa dapur adalah bagian rumah yang paling lemah, karena dapur merupakan tempat para wanita, dan wanita dianggap makhluk yang lemah (liyu).
Mekanisme fikiran yang berazaskan asosiasi prelogik juga menyebabkan bahwa banyak orang jawa yang buta huruf yakin bahwa tindakan-tindakanyang hampir serupa mempunyai kaitan sebab akibat.
Banyak tindakan ilmu gaib jawa juga ditentukan oleh keyakinan akan adanya suatu kekuatan sakti (kasekten). Kekuatan sakti juga dianggap dapat dipancarkan oleh kekuatan suara melalui ajaran yang mempunyai sifat gaib seperti suara, japa mantera.
Upacara-upacara ilmu gaib .
1. Ilmu gaib produktif , Biasanya dilakukan demi kesejahteraan diri seseorang, kesejahteraan sekelompok orang, atau kesejahteraan suatu masyarakat secara keseluruhan dan karena itu dapat juga disebut ilmu gaib umum.
2. Ilmu gaib protektif , Biasanya dilakukan dalam upacara-upacara dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan lainnya.
3. Ilmu gaib destruktif dan ilmu sihir, Para pelakunya adalah dukun-dukun yang secara khusus mempelajari cara-cara untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Ilmu ini tergolong ilmu hitam (ngelmi cemeng) karena merugikan orang lain.
4. Ilmu gaib meramal , suatu seni yang sangat penting dan banyak sekali digunakan dalam ilmu ini dalah ilmu petangan ( cara menghitung saat-saat serta tanggal-tanggal yang baik dengan memperhatikan kelima hari pasar )
BAB V
KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA
1. Sistem klasifikasi Simbolik.
Klasifikasi simbolik. Unsur-unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang jawa adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, tritus, ilmu gaib, dan pentangan, serta bebrapa pranata dalam organisasi sosialnya.
Sistem klasifikasi simbolik dibagi kedalam 9 ketegori, yang mengkonsepsikan keempat arah mata angin menjadi delapan ketegori, dengan pusatnya sebagai kategori yang ke sembilan.
2. Orientasi nilai petani dan orientasi nilai priyayi.
i. Masalah mengenai hakikat hidup. Orang desa pada umumnya tidak biasa terlalu ambil pusing tentang hakekat kehidupan, dan hanya bersandar pada nasibnya saja, orang priyayi yang tinggal di kota justru sebaliknya.
Seperti halnya orang desa, orang priyayi juga menekankan pada konsep nasib dan aspek-aspek negatif dari hidupnya, iaitu bahwa hidup itu pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kesengsaraan. Bagi orang priyayi keadaan, betapa pun beratnya dan sengsaranya ikhtiar ini, orang wajib berusaha sebanyak mungkin untuk memperbaiki keadaan.
ii. Masalah mengenai hakekat karya dan etos kerja. Orang desa pada umumnya jarang berspekulasi tentang hakekat karya mereka, tentang pekerjaan dan arti dari hasil upaya mereka, kecuali percaya bahwa mereka selalu harus berikhtiar dan bekerja keras.
Seperti halnya orang desa yang agak terpelajar, orang priyayi pun menghubung-hubungkan tujuan akhir dari karya yang mereka lakukan dengan pahala. Kecuali para priyayi yang menganut filsafat kebatinan, mereka tidak menghubungkan pahala dengan karma yang berasal dari agama Hindu Budha, tetapi dengan cita-cita yang konkret dan nyata.
iii. Hubungan Antara Manusia Dengan Alam. Konsep mengenai nasib yang telah kita bicarakan di atas juga menentukan sikap orang jawa yang tinggal di daerah pedesaan, terhadap alam. Oleh karena mereka sangat banyak sangkut-pautnya dengan alam serta segala kekuatan alam, mereka belajar menyesuaikan diri dengan alam.
Para priyayi yang bekerja di kantor dan bertempat tinggal di kota, tentu sedikit sekali berurusan dengan alam. Walaupun demikian mereka banyak memikirkan tentang alam dan hubungan antara manusia dengan alam.
iv. Persepsi Orang Jawa Mengenai Waktu. Kemampuan untuk merasakan irama waktu juga ditentukan dengan suatu cara tradisional, yang menghitung saat-saat penting dalam bercocok tanam dengan mengkombinasikan berbagai sistem penanggalan yang teradapat dalm buku-buku primbon juga. Pada umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan, serta orientasi tingkah laku mereka ditujukan pada persepsi waktu masa kini.
Persepsi waktu pada orang priyayi sebaliknya sangat berorientasi ke masa yang lalu. Kehidupan orang priyayi yang tidak banyak bervariasi, pekerjaannya di kantor yang tetap sama dari hari ke hari, nostalgianya untuk benda-benda pusaka, kesibukannya untuk melakukan berbagai ritus yang rumit-rumit berkenaan dengan perawatan benda-benda pusaka.
v. Hubungan Antara Manusia Dan Sesamanya. Seperti yang telah kita lihat, orang jawa pada umumnya, dan secara khusus penduduk daerah pedesaannya, tidak memiliki suatu sistem kekerabatan yang kaku struktutnya, terutama dalam hal fungsi-fungsinya sebagai sutau korporasi, seperti misalnya mengatur dan mewariskan hak milik. Mereka gemar berkumpul, misalnya pada pesta dan perayaan keluarga, Dan karena itu hanya kindred dengan fungsi-fungsinya yang bersifat kadangkala saja yang merupakan kesatuan kerabat yang penting.
vi. Kewajiban untuk menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga. Dengan memperhatikan berbagai kebutuhan mereka, dan sebanyak mungkin membagi segala sesuatu dengan mereka. Kecuali orientasi nilai budaya secara kolateral, orang desa juga mempunyai orientasi nilai budaya yang vertikal. Mereka merasa sangat tergantung kepada bantuan, pandangan dan restu dari orang-orang penting, orang-orang yang berpangkat tinggi, para pegawai pamong desa, orang-orang yang senior, serta orang-orang tua dalam masyarakat.
3. Orang Jawa Sekarang
Sekarang hampir tidak ada desa di Jawa yang benar-benar terpencil. Walaupun mungkin masih ada jauh desa-desa tradisional di daerah-daerah pegunungan yang jauh letaknya dari jalan kereta api atau jalan raya, namun hampir tidak ada lagi yang sama sekali tidak pernah berhubungan dengan dunia luar atau yang penduduknya belum pernah keluar dari desanya. Oleh karena itu jelas diperlukan adanya suatu pengertian yang lebih jelas mengenai soal sampai seberapa jauh dan dalam daerah apa desa-desa Jawa itu secara dominan masih bersifat tradisional. Untuk hal ini diperlukan suatu penelitian kuantitatif yang lebih luas.
Nilai-nilai budaya dan cita-cita kebudayaan yang berasal dari Eropa Barat, melalui pengaruh orang Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat politik, serta proses peralihan dari suatu peradaban agraris ke suatu peradaban industri yang akhir-akhir ini sedang berlangsung, telah merusak nilai-nilai budaya tradisional yang ada. Banyak penduduk desa adalah migran-migran musiman yang tinggal di kota selama jangka waktu tertentu dalam setahun,dan karena itu telah memiliki sikap hidup yang lebih aktif, sehingga mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa usaha manusia itu tergantung pada nasibnya saja.
Baik penduduk desa maupun orang priyayi sekarang banyak yang sudah berubah persepsi mengenai waktu. sudah ada kecondongan makin banyaknya orang mengorientasikan hidupnya ke masa depan daripada ke masa lalu, bahkan ke masa sekarang saja. Kita dapat melihan suatu perubahan yang penting dalam proses sosialisali dan enkulturasi dalam banyak keluarga jawa.
Anak-anak jawa sekarang lebih banyak diajarkan untuk berdiri sendiri dan memiliki tanggung jawab pribadi. Orang jawa memang sedang bergerak dengan laju yang cepat kedalam arus peradaban dunia masa kini, tetapi orientasi nilai budaya, sikapkan mental, dan gaya hidup pegawai negeri jawa masih menjadi hambatan utama.

Share

0 comments:

Avant-propos!

Welcome to my page! Feel free to drop your comment :)

Introduction

Welcome

.

Twitter

“We are born to learn, We learn to know, We know to share, We share to think, We think for CHANGE!”-Raja Reza Fahlevi

presentasi ethnic ukm



SISTEM SOSIAL JAWA

1. Daerah Asal Kebudayaan Jawa
Daerah asal orang jawa adalah pulau jawa, yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1200 km dan lebarnya 500 km, terletak di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih 7 derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa dengan luas hanya 7% dari seluruh dataran kepulauan Indonesia.
Orang Jawa banyak mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh pulau jawa, sebelah baratnya (yang hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi priyangan), seperti kita ketahui, adalah daerah sunda. Batas dari daerah jawa dan sunda sulit ditentukan secara tepat, tetapi garis batas itu dapat digambarkan sekitar sungai Citandui dan sungai Cijulan di sebelah selatan, dan kota Indramayu di sebelah utara.
Hampir seluruh pulau jawa memang sangat padat penduduknya, bahkan pulau jawa yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia, adalah daerah asal kebudayaan Jawa.
2. Jumlah Orang Jawa
Laju pertumbuhan orang jawa
Walaupun sudah dimaklumi orang bahwa jumlah penduduk jawa sangat tinggi
, angka yang pasti tidak diketahui. Kita hanya dapat mengira-ngira saja berapa jumlah orang yang tinggal di pulau jawa, khususnya yang tinggal di daerah asal orang jawa, yaitu Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan tetapi, di daerah-daerah itu tinggal juga orang-orang yang bukan jawa. Di masa yang silam pun daerah itu tidak hanya didiami oleh orang jawa saja, lagipula, lebih dari satu setengah juta orang jawa, tinggal di luar daerah asalnya, karena mereka dibawa ke daerah jajahan Belanda
di Surinam (Kepulauan Karibia) dan Curacao di Amerika Selatan sejak abad ke – 18, dimana mereka mempertahankan kebudayaan mereka sendiri sehingga sekarang.
Ada juga yang dalam abad ke – 19 dikirimkan ke perkebunan-perkebunan Perancis di Kaledonia Baru, sementara beribu-ribu juga telah diserap oleh perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Utara sejak akhir abad ke – 19, dan beribu-ribu pula telah ditransmigrasi oleh Pemerintah Indonesia dari daerah-daerah yang padat di Jawa ke daerah-daerah yang masih kosong di hutan-hutan Sumatera Selatan serta daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu, masih ada beratus-ratus ribu orang Jawa yang telah pindah secara spontan ke Semenanjung Malaysia.
Migrasi dan Pemindahan Penduduk
Sudah diketahui bahwa Pulau Jawa mempunyai kepadatan penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, dan sejak pertengahan abad ke – 19, migrasi spontan maupun yang dipaksakan terhadap orang-orang Jawa ke pulau lain telah berlangsung. Sudah sejak tahun 1870 petani-petani Jawa dikontrak untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau dan tambang-tambang timah di Sumatera Utara dan Sumatera Timur.
Sesudah perang, Negara Republik Indonesia Merdeka tetap menjalankan pekerjaan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi, yang kemudian ditingkatkan menjadi Departemen Transmigrasi, yang mengelola soal-soal pemindahan penduduk dari dari daerah-daerah yang padat sekali di Jawa, Madura dan Bali, ke bagian-bagian wilayah Indonesia yang kurang padat. Namun ini tidak memecahkan masalah kepadatan penduduk karena jumlah penduduk yang memang sudah sangat padat, mencapai 52.885 orang serta kelahiran yang mencapai satu setengah juta orang setiap tahun. Oleh karena itu di tambahlah satu program lagi, yaitu program keluarga berencana.
Keluarga berencana. Program-program keluarga berencana di Indonesia berjalan sangat lamban pada awalnya. Ini disebabkan karena para pemimpin tidak menganggapnya sebagai masalah ekonomi Negara, hanya masalah kelebihan penduduk dan dapat diselesaika cukup dengan transmigrasi.
Baru pada setelah tahun 1965, setelah ada suatu pemerintahan yang memperhatikan perkembangan ekonomi secara rasional maka pemerintah mulai menangani masalah kependudukannya yang sudah sangat parah itu dengan mengadakan keluarga berencana.
Namun langkah-langkah pertamanya berjalan dengan mendirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana sangat lambat. Baru pada tahun 1970 kampanya-kampanye yang dilakukan secara besar-besaran di wilayah jawa dan bali.
Pentingnya usaha keluarga berencana untuk memecahkan masalah kependudukan pulau Jawa dalam kaitannya dengan usaha transmigrasi diperlihatkan oleh Widjojo Nitisastro dengan cara memproyeksikan pertumbuhan penduduk Indonesia berdasarkan 3 keaadaan alternative :
  1. Pertumbuhan penduduk pulau Jawa dalam tingkat kesuburan yang konstan, 2.
  2. mortalitas yang menurun cepat.
  3. tetapi dibarengi dengan usaha transmigrasi sebanyak 200.000 orang muda setiap tahun
Dibandingkan dengan jumlah orang Jawa di Indonesia jumlah orang Jawa di luar Indonesia tidak begitu banyak, hanya sekita 244.000 berdasarkan penelitian C.A Lockard. Jumlah ini tidak meliputi keturanan Jawa yang ada di Afrika Selatan dan Sri Lanka yang dibawa Belanda ketika masih menjajah. Juga tidak termasuk dalam hitungan adalah orang-orang jawa yang di bawa ke Muang Thai, Birma, dan Vietnam Selatan yang dibawa Jepang sebagai Romusha.
3. Bahasa Orang Jawa.
Bahasa kesusastraan dan bahasa sehari hari. Bahasa orang Jawa termasuk sub-keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Malayo-Polinesia (Murdock 1964: 222) dan telah dipelajari dengan sseksama oleh sarjana-sarjana Inggeris, Jerman, dan terutama Belanda. Bahasanya berkembang dan dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatic yang khas berdasarkan kronologi enam fase di bawah ini;
  1. Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti kraton pada zaman antara abad ke-8 dan abad ke-10, di pahat pada batu atau diukir pada perunggu. Bahasanya mirip dengan karya yang berasal dari abad 10 sampai abad 14 yang sebahagian besarnya ditemukan di Jawa Timur dan sebahagian kecil di Jawa Tengah.
  1. Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan Jawa-Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Lombok. Sejak abad ke-14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dan menjadi mantap dalam abad ke 16 dan masih hidup sampai abad ke-20.
  1. Bahasa yang dipergunakan dalam kessusasteraan Islam di Jawa Timur. Kesusasteraan ini ditulis sejak zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu Jawa di daerah aliran sungai Bengawan Solo dalam abad ke-16 dan k eke-17
  1. Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa abad ke-17 dan 18 oleh orang Jawa sendiri disebut Jawa Pesisir.
  1. Bahasa kesusasteraan kerajaan Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karangan para pujangga keraton Kerajaan Mataram pada abad ke-18 dan 19, yang terletak di daerah aliran sungai Bengawan Solo..
  1. Bahasa Jawa masa kini, adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat orang Jawa dalam buku-buku serta surat kabar berbahasa jawa dalam abad ke-20 ini.
Tulisan Jawa. Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa yang panjang itu, orang jawa telah mengenal beberapa jenis tulisan.
Menurut para ahli Epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasastiyang berasal dari Dinasti Palawa yang menguasai daerah pantai-pantai India Selatan pada abad ke-4 sehingga disebut tulisan Palawa. Tetapi huruf yang digunakan para pujangga Jawa di abad ke -10 hingga 11 sudah mengalami beberapa perubahan dan menampakkan cirri khas Jawa. Dan huruf Jawa yang diajarkan di sekolah-sekolah di Jawa Tengah adalah berasal dari Zaman Mataram abad ke-19. Tulisan ini pernah digunakan dalam surat kabar bahasa Jawa yang pertama yang berjudul Bramartani pada tahun 1878.
Kesusasteraan Jawa juga ada yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, yaitu tulisan arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Jawa. Penggunaannya terutama dalam karya-karya yang bersifat Islam. Namun kebanyakan orang Jawa sekarang menggunakan tulisan latin.
Beberapa Gaya Bahasa Jawa.
Gaya bahasa Jawa terkena mempunyai sistem yang bertingkat-tingkat dan sangat rumit. Bergantung kepada pangkat, umur, tingkat kedudukan dan tingkat keakraban. Menurut analisa linguistic, unsur-unsur yang menyebabkan ini terbagi kepada dua kategori :
  1. Perbedaan awalan atau akhiran yang lain
  2. perbedaan sintaksis kerena penggunaan partikel-partikel kalimat yang yang lain seperti kata tunjuk, kata ganti dan lain-lain.
Ada 3 gaya yang paling dasar, yaitu gaya tak resmi (ngoko), setengah resmi (madya), dan gaya resmi (krami). Lalu ada 6 gaya lain yang terbentuk dari kombinasi dari ketiga gaya dasar tadi. Selain itu ada kosa kata yang terdiri dari kira-kira 300 kata yang wajib dipakai untuk membicarakan milik, bagian tubuh, tindakan atau sifat orang lain dan orang ketiga atau orang berkedudukan yang senior.
Masih ada juga bahasa kedaton atau badongan yang sangat berbeda dengan gaya bahasa yang lain, yang hanya digunakan dalam Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Sejak tahun 1916, sebuah gerakan berrnama Djawa Dipo yang dirintis oleh orang-orang Jawa yang ingin menghapuskan gaya-gaya bertingkat bahasa Jawa dan hanya menggunakan Ngoko sebagai bahasa dasar. Dari bagian Kramadewa, mendukung pula gaya Krami. Tetapi, kebanyakan orang Jawa yang lahir sesudah perang Dunia ke 2, tidak lagi berusaha menguasai sistem itu.
Logat-Logat Bahasa Jawa
Bahasa Jawa memilki logat yang berbeda berdasarkan geografi. Tetapi, karena mungkin dahulu sungai digunakan untuk transporttasi maka sepanjang daerah sungai kebanyakan idiomnya sama yang berbeda dengan daerah aliran sungai lain. Kita dapat membedakan hal ini dalam beberapa bagian :
  1. aliran Sungai Serayu (bagian Barat) berasal dari komplek Pegununga Dieng, Sundoro, dan Sumbing, yang mengalir berkelok-kelok ke arah Barat Daya, dan bermuara di Samudera Hindia.
Orangnya mengucapkan logat Banyumas, dan perkataan sering kali diakhiri dengan pita suara tertutup.
  1. aliran Sungai Opak dan Praga, dan di Hulu Bengawan Solo. Berasal dari komplek gunung-gunung berapi Merbabu dan Lawu, dipergunakan logat Jawa Tengah, Solo, Yogya. Dan bahasa di sini dikenal dengan bahasa Jawa yang beradab dan dengan kerumitan yang luar biasa.
  2. daerah Jawa Pesisir, di kota-kota Pantai Utara. Logat ini tidak beda jauh dengan Solo-Yogya hanya saja tidak begitu rumit.
  3. Daerah Aliran Sungai Brantas (sebelah Timur) terdiri dari Madiun, Kediri, Lumajang, dan Jember. Logat yang diucapkan sangat dipengaruhi oleh Solo-Yogya bahkan sangat mirip sekali. Kecuali bagian Hulu, yang mempunyai logat yang khas.
  4. Daerah sebelah Barat Pulau Jawa (Sunda), terdapat logat Banten yang mer\upakan suatu logat Jawa yang khas. Mencakup daerah sebelah Barat Jakarta hingga kota Merak, sampai Rangkaslitung dan Padeglang. Orang disini berbicara dengan 2 bahasa, yakni Jawa Banten dan Sunda.
4. Keanekaragam Regional dari Kebudayaan Jawa
Walaupun Orang Jawa memandang budaya mereka homogen, tapi kebudayaan regional Jawa sangat banyak. Ini dilihat dari unsur-unsur seperti makanan, bahasa, upacara, dan kesenian. Kebudayaan yang hidup di kota Yogya dan Solo berakar dari Keraton, dan memiliki garis sejarah sejak 4 abad yanaga lalu, serta memiliki kesenian yang maju. Sedangkan kebudayaan Pesisir yang meliputi Indramayu/Cirebon sampai ke Gresik di Timur, social budaya mereka dipengaruhi agama Islam, dan juga mempunyai sejarah sepanjang 4 abad. Orang Jawa hanya membedakan sub daerah budaya Barat yang pusatnya di Cirebon dan sub daerah budaya Timur yang berpusat di Demak. Namun ada pula kebudayaan Jawa khusus di daerah Surabaya yang dianggap sebagai pintu masuk gagasan baru dari pusat kebudayaan Islam seperti Mesir.
BAB I
SISTEM JARINGAN KEKERABATAN ORANG JAWA DI DAERAH PERDESAAN
Fungsi kekerabatan orang jawa di daerah perdesaan. jaringan kekerabatan orang jawa terbatas pada asas kegunaan yang nyata dalam pergaulan,pengenalan dan daya ingat seseorang ,dan biasanya tidak tergantung pada suatu sistem normatif atau konsepsi,dan karena itu bagi tiap orang jawa wujud jaringan kekerabatan itu berlainan ,tergantung keadaan masing-masing.pada umumnya seorang penduduk desa jawa hanya berhubungan dengan anggota keluarga intinya,dengan para saudara kandung orang tuanya serta anak-anak mereka,dengan kedua kakek dan nenek dari pihak ayah maupun ibunya,dengan anak-anak saudara-saudara kandungnya sendiri,dan dengan para iparnya .
Hubungan kekerabatan itu terutama berfungsi dalam sektor-sektor kehidupan sekitar berbagai aktifitas rumah tangga.kegunaan dasar manusia untuk bergaul akrab,yang dapat memberikan rasa hangat dan juga dapat menjamin hari tua itu diperolehnya oleh keluarga intinya.keluarga inti ini kadang-kadang diperluas dengan keluarga inti dari anak wanita yang menentap secara uxorilokal,keluarga inti anak pria yang yang menetap secara virilokal,atau keluarga –keluarga inti anak pria dan wanita yang menetap secara utrolokal.
Keluarga-keluarga luas ini merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang benar-benar berdiri sendiri,dalam arti bahwa kesatuan sosial memiliki ekonomi rumah tangga serta hak miliknya.serta bekerja sama dalam berbagai aktifitas lain,termasuk mengadakan perayaan-perayaan yang bersifat adat maupun keagamaan.
Pada zaman sekarang,banyak masyarakat jawa bergantung terhadap pranata lain dalam masyarakat yang tidak berdasarkan hubungan kekerabatan.untuk perbaikan rumah tangga ada pranat sambatan ;dan dengan menunjukkanya kegiatan-kegiatan berdasarkan sambatan akhir-akhir ini,sudah banyak tukang-tukang yang dapat dipakai jasanya dengan upah yang rendah.untuk membina para didikan generasi muda,sejak lama sudah ada sekolah-sekolah umum.kegiatan-kegiatan pertanian yang di waktu yang lalu banyak berdasarkan gotong royong,berupa jogan,bawon,atau lain,sekarang sudah pula dapat dilakukan oleh para buruh tani yang sangat banyak jumlahnya.
Satu-satunya kegiatan yang masih melibatkan para warga keluarga adalah penyelenggaraan perayaan-perayaan adat dan keagamaan.adapun fungsi yang bersifat kadang kala dari keluarga luas ini seringkali juga tidak dapat menyamai bantuan spontan yang diberikan oleh para tetangga pada waktu tetulung layat.
Seperti halnya semua sistem kekerabatan,sistem kekekrabatan jawa mempunyayi juga fungsi circumscriptive,yaitu yang dapat memberikan semacam identitas kepada warganya,yang dapat meninggikan kedudukan sosial serta gengsinya yang menentukan hak serta kewajibanya warisan nenek moyangnya,serta pembagian warisanya kepada keturunannya.walaupun demikian,selain keluarga luasnya itu,sudah sejak lama dari beberapa pranata sosial lain dalam masyarakat desa di jawa yang dapat memberikan identitas sosial;kedudukan dengan gengsi kepada warganya.
Mengenai warisan,jumlah rata-rata harta yang di miliki oleh seseorang penduduk desa jawa biasanya sedemikian kecilnya sehingga sistem pembagian yang berusaha agar harta tersebut jatuh hanya dalam suatu keluarga inti yang terbatas saja,tidak dapat mencegah habisnya harta tersebut dalam hanya dua generasi saja.
Warga kerabat di luar keluarga inti atau keluarga luas terbatas,tidak banyak artinya dalam kehidupan seseorang petani jawa;tetapi sebelum saya melanjutkan uraian saya mengenai harta dan warisan. Berikutnya saya akan menguraikan dua macam kelompok kerabat yang terdapat di masyarakat jawa;
Kindred. Orang jawa di daerah-daerah bagelen dan negarigung membuat perbadaan yang tajam antara dua macam kelompok kekekrabatan bilateral,yaitu:yang disebut dengan istilah-istilah yang agak samar-samar seperti keluarga,sanak sedherek,golongan,dan yang disebut dengan istilah-istilah alur waris atau trah.sanak sedherek adalh kelompok kekerabatan kadang kala bilateral yang para warganya terikat hubungan keturunan ataupun perkawinan,dan terutama tinggal satu desa.
Sanak sedherek ini mirip dengan apa yang dalam ilmu antropologi sosial disebut kindred,walaupun sanak sedherek berpusat pada suami istri tertentu,dan biasanya tidak pada seorang “ego”.kecuali itu dalam suatu masyarakat biasanya hanya ada sejumlah kindred yang terbatas,jadi tidak sebanyak adanya individu.suatu survei kecil yang saya lakukan terhadap 36 keluarga inti yang di pilih dari berbagai tingkat sosial yang berbeda di suatu desa di daerah bagelen dalam tahun 1959,menunjukkan bahwa 11 keluarga saja yang merupakan pusat dari 11 kindred yang ada dalam komuniti itu,sedangkan ke 25 keluarga lainnya merupakan dari salah satu dari ke 11 cindred tadi.setiap kindred menggunakan nama dari keluarga yang merupakan pusatnya.
Alur waris. Alur waris adalah suatu kelompok kekerabatan ambiliner yang berpusat kepada satu nenek moyang,dan warga alur waris mempunyai kewajiban mengurus makam nenek moyangnya serta membiayai slametan-slametan(kanduri) serta pengeluaran lainnya yang berhubungan dengan pemeliharaannya.
Walaupun warganya tersebar luas.setiap alur waris biasanya mempunyanyi seorang warga yang tinggal di desa nenek moyangnya,yang mendapat tugas untuk melakukan semua pekerjaan upacara dan slametan yang bersangkut paut dengan pemeliharaan makam nenek moyang itu.
Biasanya keberhasilan suatu kelompok ahli waris untuk menyatukan suatu jumlah kerabat yang besar atau yang kecil itu tergantung dari perhatian serta aktifnya orang yang bertugas sebagai penghubung itu.seorang penghubung yang aktif dan lincah dan aktif biasanya dapat membina hubungan dengan warga alur waris yang telah lam meninggalkan desa dan yang walaupun telah menjadi mantap dalam lingkungan sosialnya yang baru,tidak lupa dengan kerabat asalnya.
Di daerah jawa tengah bagian selatan dan mancanegari,sanak sedherek berpusat sekitar suatu keluarga inti tertentu,yang menjadi pusat pergaulan sosial karena berbagai hal,misalnya karena kepalanya merupakan seorang yang besar pengaruhnya.memang,sembilan dari ke 11 kepala keluarga sanak sedherek dalam sampel penelitian tahun 1959 itu adalah orang yang mempunyanyi pengaruh besar,baik secara tradisional maupun karena perkembangan sosial politik yang baru.
Suatu keluarga ada kalanya juga menjadi pusat dari suatu kelompok sanak sedherek karena memiliki rumah besar.enam dari ke 11 keluarga di atas tersebut memang mendiami rumah dengan pendapa yang terbuka atau emper yang cocok untuk mengadakan perjamuan atau mengumpulkan orang banyak.tiga orang adalah penghubung dari kelompok alur warisnya masing-masing,dan karena itu mereka sering berhubungan dengan kaum secara teratur kerabat meraka pada berbagai kesempatan.akhirnya hampir semua dari ke 11 kepala keluarga itu adalah orang yag banyak bergaul,gemar berpesta,dan suka mengadakan pertemuan-pertemuan.
Kepala dari keluarga yang merupakan pusat suatu kelompok sanak dherek itu biasanya merupakan orang yang mengambil suatu inisiatif untuk mengadakan aktifitas kindred.secara umum kepala keluarga inti yang yang tergabung dalam suatu kelompok sanak sedherek bebas untuk menentukan sendiri apakah ia akan mengadakan suatu slametan yang berhubungan dengan lingkaran hidup dalam keluarganya untuk menempati suatu rumah baru atau untuk peristiwa lainnya.walaupun demikian biasanya kepala dari kelompok sanak sedhereklah yang menentukannya dan yang akan membujuk keluarga bersangkutan untuk mengadakan perayaan.
Menurut para informan suatu kelompok sanak sedherek kolateral meliputi semua kerabat hingga derajat kedua,yaitu misanan.walaupun demikian hal itu dalam kenyataan tidak begitu jelas.orang desa masih menganggap misanan sebagai keluarga dekat,walaupun mereka sering sudah tidak saling mengenal karena tinggalnya berjauhan bisa menjadi jauh,sedangkan keluarga jauh dapat menjalin hubungan yang akrab dengan kelompok sanak sedhereknya karena kebetulan tinggal di desa yang sama.
Akibat dari angka perceraian yang tinggi di dalam masyarakat-masyarakat desa di jawa,kebanyakan pria di desa serta semua kepala keluarga dari ke 11 kindred dalam sampel,telah menikah paling sedikit dua kali.ada beberapa kelompok sanak sedherek yang masih beranggotakan kerabat dekat dari bekas istri atau suami para warganya,yang juga masih teratur mengunjungi pertemuan-pertemuan sanak sedherek itu.
Pada pertemuan semacam itu suatu kelompok sanak sedherek jarang sekali lengkap;namun kecaman terhadap tidak hadirnya seorang anggota tergantung pada pentingnya pertemuan.tidak hadir pada suatu pemakaman misalnya sangat di cela.
Orang yang tergabung dalam lebi dari satu kelompok sanak sedherek kadang-kadanh menghadapi kewajiban berpatisipasi pada aktifitas kelompok itu,yang jatuhnya pada waktu yang bersamaan.
Hak milik dan warisan. Para ahli etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui kesukaran dalam mendeskripsi adat pembagian warisan dalam masyarakt jawa,walaupun para ahli hukum adat telah berhasil mencatat peraturan-peraturan normatif mengenai hukum adat waris jawa dengan rapi.(djojodigeno,tirtawinata 1940),bahwa anak wanita memperoleh warisan sebesar separoh dari bagian yang di peroleh anak pria.perbandingan yang sam juga berlaku dalam pembagian warisan apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak.hak milik suami pribadi suami diambil kembali oleh kerabat suami,dan hak milik pribadi istri juga diambil kembali oleh kerabat istri.hak milik mereka bersama dibagi menurut perbandingan 1:2,dimana kerabat istri menerima separoh dari bagian yang diterima kerabat suami.
Norma pembagian harta warisan yang tampak rapi ini jarang dilaksanakan dalam kenyataan.tergantung pada keadaan.orang yang beragama islam kuat ,biasanya akan membagikan harta warisan berdasarkan hukum islam.yang mengatakan bahwa para kerabat pria dari orang yang meninggal,berhak menerima bagian terbesar dari warisan,atau berdasarkan hukum adat jawa,yang memberi dua kemungkinan,yaitu:berdasarkan asas sepikul,atau asas bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya.
Cara yang terbaik untuk mendeskripsi pembagian hak waris orang jawa. Ialah menganggapnya suatu proses yang terjadi secara lambat dan bertahap.biasanya seluruh kekayaan suatu keluarga sudah di bagikan kepada anak-anak pada waktu mereka masih muda.biasanya harta-harta ini berupa;tanahh pertanian,rumah,pohon buah-buahan,binatang peliharaan,perhiasan,pusaka,tanah jabatan yang diwariskan bersama jabatan.
Tanah pertanian dapat di wariskan kepada anak pria maupun anak perempuan.harta benda lain kecuali tanah pertanian berupa pohon buah-buahan sering juga dibagi-bagikan kepada anak-anak yang sudah menikah,tetapi pohon-pohon yang terbaik biasanya mereka pertahankan untuk mereka sendiri.ternak,yaitu kerbau,sapi,kambing,biri-biri,dan unggas,juga di wariskan kepada anak-anak berdasarkan pembagian yang rata,yang meerka terima apabila mereka menikah.harta berupa perhiasan,yang dalam masyarakat desa hanya dimiliki oleh para istri petani kaya atau pamong desa,biasanya dibagi-bagikan kepada anak-anak wanita pada waktu seseorang ibu merasa dirinya sudah tua.dan menurut adat jawa harta pusaka sedapat-dapatnya dipertahankan sebagai satu unit yang tidak terpisah-pisah,dan biasanya diberikan kepada anak pria yang tertua.
Biasanya benda pusaka orang jawa adalah sebuah keris.dan yang terakhir adalah pembagian warisan tanah,sering kali orang tua masih merubah keputusan atas kepemilikan tanah tersebut,akan tetapi anak-anak yang sudah dewasa biasanya akan berusaha mempertahankan bagian mereka,dan mendesak orang tuanya untuk membalik-namakan tanah warisan itu menurut ketentuan hukum yang berlaku.
BAB II
Perbedaan Sosial-Ekonomi di Desa, Pemerintah Desa
dan Himpunan-Himpunan
Tanah dan Keturunan
Dalam konteks kebudayaan Jawa secara keseluruhan, petani-petani dari daerah pedesaan dipandang sebagai satu golongan yang disebut tiyang tani. Bila kita perhatikan lebih seksama, kita lihat adanya berbagai perbedaan sosial-ekonomi di dalam masyarakat desa yang merupakan dasar dari suatu pelapisan sosial. Perbezaan itu secara tradisional tampak dari pemilikan tanah dan keturunan, tetapi sejauh ini sistem pelapisan social dalam masyarakat Jawa berdasarkan analisa sosiologi atau antropologi belum ada. Orang jawa membezakan antara lima lapisan social, yaitu: (1) para pendatang yang tidak mempunyai tanah atau rumah, dan karena itu disebut pondhok (pondhok sebenarnya berarti “orang yang tinggal di rumah orang lain”); (2) penduduk desa yang tidak memiliki tanah dan hanya memiliki rumah dan pekarangannya, yang disebut lindhung(para tanggungan seorang kuli); (3) para pemilik tanah yang disebut kuli; (4) para keturunan penduduk desa yang tertua (tiyang baku); (5) para anggota pamong desa (prabot dhusun), dan suatu golongan penduduk yang biasanya dipandang secara terpisah yaitu para santri.
Pondhok
Para pondhok sejak lama merupakan golongan social yang terbesar dalam desa (kira-kira 75% sampai 80%) yang berasal dari daerah-daerah bencana alam atau yang meninggalkan desanya sendiri karena di sana terjadi eksploitasi ekonomi, karena tekanan politik, atau karena masalah social. Dalam melebihi batas yang wajar, di berbagai bagian pulau Jawa, tekanan-tekanan akibat jumlah penduduk yang terlalu besar itu mendorong orang untuk meninggalkan desanya. Para imigran yang tidak memiliki tanah itu terpaksa mondhok (tinggal pada orang lain) di desa yang mereka datangi, di tempat penduduk desa. Sebagai gantinya, mereka harus bekerja untuk keluarga yang ditumpanginya, dan dengan demikian menjadi tanggungannya juga. Selang beberapa waktu, statusnya mungkin menjadi lebih baik sehingga mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri, dan menjadi warga golongan social yang lebih tinggi.
Sebaliknya, banyak pondhok yang selama beberapa angkatan tetap merupakan tanggungan orang lain; kadang-kadang juga terjadi bahwa seorang petani kaya pada suatu ketika kehilangan semua harta kekayaannya, sehingga ia terpaksa hidup sebagai seorang pondhok.
Lindhung
Lindhung adalah oraang-orang yang juga masih menggantungkan diri kepada orang lain, karena sebagai pemilik sebuah rumah denga pekarangan saja, mereka tidak mempunyai sumber penghasilan lain kecuali mencari upah sebagai buruh di tanah orang lain. Para lindhung ini banyak yang semula menjadi pondhok, dan naik derajatnya karena usaha mereka; ada yang mempunyai rumah dengan pekarangan karena mewarisinya.
Kuli
Para kuli adalah petani-petani yang menguasai sebidang tanah yang sebenarnya merupakan sebagian dari tanah milik raja atau pemerintah yang diberikan sebagai kompensasi untuk jasanya terhadap raja atau negara. Di samping itu, kuli tentu mungkin saja mempunyai tanah yang diwarisinya dari keluarganya, atau yang dibukanya sendiri, atau mungkin juga dibelinya sendiri.
Tiyang baku
Para pemilik tanah yang mewarisi tanah keluarga dianggap sebagai keturunan penduduk tertua desa (cakal bakal), dan mereka ini mendapat sebutan tiyang baku. Hubungan mereka dengan cakal bakal yang disembah oleh seluruh penduduk desa itu sering kali dapat mereka buktikan dengan memiliki sebuah rumah kuno tau benda pusaka, atau dengna hubungan mereka dengan makam cakal bakal itu. Walaupun demikian, sekarang banyak tiyang baku yang sudah kehilangan tanah mereka di desa. Namun, tiyang baku yang sudah menjadi miskin akibat kehilangan tanah mereka tetap dipelakukan secara hormat. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa asas keturunan masih lebih penting untuk mengukur gengsi seseorang daripada pemilikan salah satu sumber ekonomi desa yang utama, yaitu tanah.
Perabot Dhusun
Para anggota pamong desa, atau perabot dhusun, hanya terdiri dari beberapa keluarga saja, yang juga merupakan golongan social yang tertinggi dalam komunitas desa. Seorang kepala desa yang pada umumnya disebut lurah, sejak dulu memperoleh kedudukannya berkat pilihan para penduduk desa yang sudah dewasa, tanpa perlu diketahui oleh raja. Hanya di daerah-daerah di mana raja mempunyai kepentingan secara kangsung saja, misalnya desa-desa yang letaknya dekat kota kerajaan, diperlukan izin untuk pengangkatan seorang kepala desa. Di daerah-daerah yang dihadiahkan oleh raja kepada para anggota keluarganya serta para bangsawan atau pegawainya. Ketika pulau Jawa secara langsung diperintah oleh pemerintah Kolonial Belanda , para kepala desa harus disetujui pengangkatannya oleh kepala distrik, dan dalam system pemerintah sekarang, oleh camat. Dengan dihapuskannya system patuh sejak tahun 1918 berlaku pemilihan dan pengangkatan kepala desa yang sama untuk hampir seluruh Pulau Jawa.
Santri
Di setiap desa Jawa ada sebagian dari penduduknya yang mempunyai orientasi yang lebih kuat terhadap agama Islam, daripada penduduk desa lainnya. Orang-orang yang termasuk kategori penduduk itu dinamakan orang santri, yang mula-mula berarti “siswa-siswa sekolah pesantren”, atau “penghuni kompleks pesantren”. Sekarang istilah itu berarti “seseorang yang taat pada agama Islam, yang mengikuti ajaran agama dengan sungguh-sungguh”.
C. Geertz adalah sarjana yang pertama-tama memperkenalkan istilah tersebut dengan arti yang sama seperti tersebut di atas dengan terbitnya buku The Religion of Java (1960). Ia juga memperkenalkan istilah lawannya, yaitu abangan, yang merupakan golongan orang Jawa yang menganut keyakinan konsep-konsep dan system upacara serta ritus Hindu-Jawa yang tercampur dengan keyakinan konsep-konsep dan system upacara serta ritus agama Islam.
BAB III
KEBUDAYAAN JAWA DI KOTA
  1. Golongan- Golongan social dalam masyarakat
Kota-kota di jawa tengah dan jawa timur belum banyakd dikaji, dan kecuali kajian dari kota tua Kota Gede oleh H.J Van Mook . kajian mengenai orang-orang tionghoa di semarang oleh D.E wIllmott(1960), dan kajian mengenai status kekuasaan dalam suatu kota di jawa tengah oleh L.H. Palmier (1960), satu-satunya kajian holistic mengenai suatu kota jawa adalah yang pernah dilakukan oleh C.Geerz( 1965).
Kecuali satu atau dua saja, kota-kota di Jawa umumnya merupakan pusat pemerintahan yang bersifat pra-industri, dengan pola-pola tata-kota dan pemukiman yang sama.
Pusat dari suatau kota pemerintahaan biasanya merupakan suatu lapangan yang luasnya kurang-lebih 100 meter persegi , yang di sebut Alun- alun. Ditengahnya biasanya terdapat dua buah pohon beringin yang melambangkan fungsi mengayomi dari pemerintahan , rumah tinggal kepala pemerintahan daerah , yaitu bupati, dan zaman colonial rumah milik atasannya, seorang Belanda yaitu assistant resident, dibangun berhadap-hadapan di dua tepi alun-alun itu. Di dua tepi lainnya di bangun kantor-kantor pemerintahan yang terpenting, yang melambangkan kekuasaan dan kewibawaan pemerintah, seperti kantor pemerintah daerah , kantor polisi, pengadilan, penjara dan rumah gadai. Kemudian di baris yang kedua sekeliling alun-, alun terletak rumah-rumah yang di huni oleh para pegawai Negara, dokter kabupaten, kepala rumah gadai , orang-orang belanda yang bekerja di kantor-kantor swasta dan lain-lain. Sekolah dasar umum biasanya juga terletak di barisan kedua ini.
Dalam baris berikut nya tinggal para pegawai pemerintahan bangsa indo dan jawa. Bagian ini biasanya juga terpotong oleh suatu jalan raya dimana terletak pasar dan took-toko tionghoa , sehingga merupakan bagian kota dimana terdapat kegiatan ekonomi. Apabila jalan kereta api kebetulan melewati kota itu, maka stasiun kereta api dan perumahan buruh kereta api pun berada di barisan itu. Bangunan-bangunan ini seringkali merupakan bagian tersendiri dari suatu kota.
Dalam suatu kota biasanya terdapat juga sebuah gereja bagi orang eropa dan orang indo, dan sebuah mesjid yang biasanya dikelilingi oleh pemukiman orang jawa yang taat beragama islam.
Dalam barisan-barisan berikutnya sekeliling alun-alun terdapat bagian-bagian kota yang dihuni orang jawa yang tidak begitu kaya, sedangkan dalam lingkaran-lingkaran yang lebih jauh dari pusat kota adalah tempat tinggal orang-orang yang termasuk golongan rendah, yang rumahnya biasanya terbuat dari bambu. Kampung-kampung tempat tinggal golongan rendah ini merupakan batas kota, dengan pekarangan-pekarangan yang rimbun dan teduh, atau lingkungan berupa tanah terbuka dan sawah-sawah. Sampai sekarang wajah kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur belum banyak berubah, bedanya sekarang ialah bahwa jumlah penduduk kota-kota itu sudah lebih banyak, sehingga kampung-kampung di pinggir kota menjadi sesak padat,dan pekarangan-pekarangan semula luas dan rimbun juga mulai hilang.
Seperti telah disebutkan dalam bab II pada hlm. 75-76, setelah orang Belanda dan orang Indo meninggalkan Indonesia dengan berakhirnya Perang Dunia ke II, maka orang Jawa yang tinggal di kota pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga lapisan social, yaitu: (1) golongan orang biasa dan para pekerja kasar. (2) golongan pedagang dan (3) golongan pegawai pemerintah yang bekerja di kantor pemerintah daerah, di instansi-instansi pemerintah, dan orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan kepegawaian, yang bekerja dibelakang meja tulis. Sebelum perang dunia ke II, kota Yogyakarta dan Surakarta, di Negarigung, dan di Cirebon di Daerah Pesisir Barat, masih ada satu golongan social lain, yaitu kaum bangsawan Jawa.
Penduduk kota yang terbanyak jumlahnya adalah para pekerja kasar (yang alit), yaitu para pedagang kecil, buruh kecil, dan tukang-tukang yang banyak ada di pasar, dipinggir jalan, atau di warung-warung. Diantara para pedagang kecil ada petani-petani yang belum berakar dikota, yang masih hilir mudik antara desa dan kota tiap hari. Maereka bejualan buah-buahan dan sayur mayor, palawija, hasil pekarangan rumah, hasil kerajinan tangan industri rumah tangga, baik di pasar maupun dipinggir jalan. Karena masih menganggap desa mereka sebagai panggkal, mereka belum berakar di kota.
Tiang Alit yang menjadi buruh kecil dikota adalah mereka yang melakukan pekerjaan kasar . Namun perlu diperhatikan bahwa diantara berbagai jenispekerjaan yang mereka lakukan , ada juga yang memerlukan pengalaman dan keahlian. Pekerjaan yang tidak memerlukan banyak keahlian misalnya pekerjaan sebagai kuli mengangkut barang , tukang becak dan sebagainya. Diantara mereka aa juga yang menjadi petani di desa, dan karena itu belum sepenuhnya berakar di kota. Mereka hanya datang ke kota secara musiman , dan masih menganggap diri mereka sebagai penduduk desa asalnya. Pekerjaan tiyang alit yang sudah memerlukan lebih banyak pengalaman dan sekedar keahlian , terutama bagi para wanita adalah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai buruh-buruh pabrik atau proyek –proyek bangunan , sedangkan pekerjaan yang memerlukan keahlian yang sederhana seperti pekerjaan sebagai tukang becak, tukang tambal ban, buruh kereta api tukang cukur, sampai pekerjaan yang memerlukan keahlian yang lebih complex, seperti pekerjaan sebagai tukang jahit , montir dan sebagai nya, dilakukan oleh buruh atau tukang yang masih dianggap golongan tiyang alit . buruh atau tukang seperti itu biasanya sudah menganggap diri orang kota , dan sudah melepaskan identitas mereka dengan desa asalnya.
Kebanyakan penduduk kota tersebut di atas tinggal didaerah-daerah miskin di kota yaitu kampong-kampung yang mirip pemukiman di desa. Rumah di kampong itu pada umumnya dibangun dari kayu dan bambu yang dikelilingi halaman yang penuh dengan pohon-pohonan buah maupun pohon-pohon hias. Daerah-daerah kampong ini kemudian berkembang menjadi daerah-daerah kota yang di huni oleh orang-orang miskin.
Sesudah perang , proses urbanisasi meningkat dengan membanjirnya beratus-ratus orang dari daerah pedesaan. Kebanyakan dari pendatang-pendatang itu tentu berusaha menetap di kampong-kampung tadi, agar mereka dapat berada dekat dengan pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian kampong-kampung tersebut makin lama makin sesak saja. Setelah kampong-kampung itu tak dapat lagi menampung pendatang baru, para pendatang tersebut mulai mendirikan gubuk-gubuk di tanggul-tanggul dan saluran air di dalam kota, atau di tepi rel kereta api.
Pokoknya di sana ada tempat kosong ,terutama bila tempat itu berada dekat suatu sumber air jembatan serta gerbong-gerbong kereta api yng tidak terpakai merupakan tempat tinggal ideal bagi mereka yang tidak memiliki tempat untuk berteduh . oleh karena itu bagian-bagian kota yang dihuni penduduk miskin juga merupakn begian-bagian kota yang terpadat,dengan penduduk yang mata pencariannya dianggap paling rendah dan memilukan, yaitu sebagai pemungut puntung rokok, pengorek tong sampah , penggali pasir, pencopet dan jenis-jenis pekerjaan lain yang bertentang dengan nilai hokum.
Para pedagang pribumi di kota-kota jawa disebut sodagar . mereka pada umumnya melakukan aktivitas perdagangan dalam sector-sektor yang belum dapat diisi oleh orang tionghoa, yaitu perdagangan tengkulak hasil bumi , seperti misalnya tembakau yang dibawa adalah bahan tekstil. Barang kerajinan rumah tangga dan ikan asin.
Ada juga saudagar yang memiliki usaha yang lebih besar , seperti suatu perusahaan batik tulis, yang mempekerjakan sebanyak 15 sampai 30 tukang batik wanita. Ada juga yang berhasil dalam perusahaan rokok kretek. Perusahaan – perusahaan semacam ini biasanya juga memasarkan sendiri barang produksinya, tidak hanya di kota di mana pabrik itu berada, tetapi sampai juga ke kota-kota lain, di mana mereka menempatkan seorang kenalan untuk menjalankan usaha mereka.
Para sodagar jawa terutama sangat taat beragama islam, dan pandangan hidup mereka yang sangat didasari oleh agama itu juga mempengaruhi gaya hidup mereka.mereka taat bersembahyang lima waktu, selalu melakukan sembahyang jumat di mesjid, tidak makan daging babi, tidak mengadakan upacara slametan seperti orang priyayi.
Mereka selalu berusaha melakukan amar ma’ruf nahi mungkar yang di perintakan oleh agama islam. Dalam melanjutkan pendidikan keluar negeri mereka cenderung untuk lebih memilih Negara – Negara Islam seperti ke Kairo dan Mekah. Khusus di Jawa mereka bertempat tinggal di daerah yang khusus dekat dengan mesjid, dikenal dengan nama Kauman. Para penduduk Kauman ini mempunyai berbagai jenis profesi tetapi mereka tentu lebih taat kepada agam islam.
Kelas social tertinggi yang tinggal di pusat kota terdiri dari para pegawai negeri, yang sebelum Perang Dunia ke I disebut priyayi. Priyayi ini dibedakan menjadi 2 golongan, yakni:
1. Priyayi Pangreh Praja yakni golongan para pejabat Pemerintah Daerah, yakni orang – orang yang paling tinggi gengsinya diantara para priyayi lainnya ysng disebabkan karena sifat kebangsawan mereka.
2. Priyayi Non Pangreh Praja yakni golongan orang –orang terpelajar yang berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyat alit di kota yang berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan.
Sebelum Perang Dunia ke II, di banyak kota Jawa Tengah dan Jawa Timur ada segolungan priyayi yang terpandang secara khusus, yaitu para pegawai pemerintah serta orang –orang professional yang memimiliki gelar – gelar perguruan tinggi,seperti dokter, hakim dll. Kedudukan istimewa yang mereka dapatkan disebabkan jumlah mereka sangat terbatas.
Sesudah Perang Dunia ke II, kraton – kraton di pulau Jawa kehilangan kekuasaan mereka atas daerah mereka masing – masing, kedudukannya sebagai pusat orientasi nilai – nilai budaya Jawa, sebagai pusat dari adat istiadat dan kesenian Jawa. Keadaan ini juga turut membuat mereka kehilangan kedudukan mereka yang tinggi dimata masyarakat.
BAB IV
ILMU GAIB, ILMU SIHIR DAN ILMU PETANGAN
Asas – Asas Ilmu Gaib (ngelmi) dan Ilmu Sihir. Ilmu ini merupakan sub-sistem dari religi pada orang Jawa dan dianggap keramat. Perbedaan ngelmi dengan religi terdapat dari orang yang melakukannya. Dalam ngelmi diperlukan sikap yang berbeda dalam menghadapi kekuatan – kekuatan gaib dengan mengucapkan mantra – mantra sekehendak hati (gadhah pikajeng). Sedang orang yang melakukan religi, ia lebih menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Berbagai system keyakinanorang Jawa mengandung konsep mengenai hubungan jalin – menjalin antara aspek alam semesta dan lingkungan social serta spiritual manusia. Keadaan inii hal yag menyebabkan mereka memiliki asas – asas “pikiran asosiasi prelogik”. Berdasarkan sisitim ini berbagai ahl yg terdapat dalam lingkungan alam serta kehidupan social budaya seseorang, seperti misalnya bagian2 tubuh, sifat-sifat kepribadian orang, keadan perasaan orang, hari hari pasar, makanan dan minuman, keselamatan, pekerjaan, plaet2, benda2 luar angkasa alin, dewa dewa mahluk mahluk s dan mahluk halus dan sebagainya. Diklasifikasikan menjadi lima kategori pokok. Seorang ahli yang minat pada kebudayan jawa, yaitu FDE Van Ossenbruggen adalah orang yang pertama yang menyinggung mengenai “sistim klasifikasi primitive”, atau sistim klasifikasi prelogik, orang jawa. Van Ossenburgge n mendasarkan diri pada hipotesa yang di ajukan oleh E dan M.Mauss bahwa pikiran prologik manusia pada awal perkembangan kebudayaan membayangkan bagian- bagian dari masyarakat sebagai dasar dari kerangka berpikir, di dalam lana harus diklasifikasikan semua konsep yang dikenalkan nya dan semua gejala yang ada dalam lingkungan nya.
Orang jawa membagi masyarakatnya kedalam 5 bagian yang ditentukan oleh ke empat arah mata angin dan titik pusatnya. Klasifikasi itu sendiri sudah dengan sendirinya terpahat di dalam jiwanya, yang dipengaruhi oleh asas-asas fikiran asosiasi prelogik. Hal ini yang menyebabkan bahwa orang menyangka ada suatu kaitan yang erat antara gejala-kebetulan mirip dalam hal bentuk atau warnanya yang biasa disebut dengan istilah yang mirip bunyinya. Orang jawa yang condong untuk percaya kepada ilmu gaib juga yakin bahwa dapur adalah bagian rumah yang paling lemah, karena dapur merupakan tempat para wanita, dan wanita dianggap makhluk yang lemah (liyu).
Mekanisme fikiran yang berazaskan asosiasi prelogik juga menyebabkan bahwa banyak orang jawa yang buta huruf yakin bahwa tindakan-tindakanyang hampir serupa mempunyai kaitan sebab akibat.
Banyak tindakan ilmu gaib jawa juga ditentukan oleh keyakinan akan adanya suatu kekuatan sakti (kasekten). Kekuatan sakti juga dianggap dapat dipancarkan oleh kekuatan suara melalui ajaran yang mempunyai sifat gaib seperti suara, japa mantera.
Upacara-upacara ilmu gaib .
1. Ilmu gaib produktif , Biasanya dilakukan demi kesejahteraan diri seseorang, kesejahteraan sekelompok orang, atau kesejahteraan suatu masyarakat secara keseluruhan dan karena itu dapat juga disebut ilmu gaib umum.
2. Ilmu gaib protektif , Biasanya dilakukan dalam upacara-upacara dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan lainnya.
3. Ilmu gaib destruktif dan ilmu sihir, Para pelakunya adalah dukun-dukun yang secara khusus mempelajari cara-cara untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Ilmu ini tergolong ilmu hitam (ngelmi cemeng) karena merugikan orang lain.
4. Ilmu gaib meramal , suatu seni yang sangat penting dan banyak sekali digunakan dalam ilmu ini dalah ilmu petangan ( cara menghitung saat-saat serta tanggal-tanggal yang baik dengan memperhatikan kelima hari pasar )
BAB V
KLASIFIKASI SIMBOLIK DAN ORIENTASI NILAI BUDAYA ORANG JAWA
1. Sistem klasifikasi Simbolik.
Klasifikasi simbolik. Unsur-unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang jawa adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, tritus, ilmu gaib, dan pentangan, serta bebrapa pranata dalam organisasi sosialnya.
Sistem klasifikasi simbolik dibagi kedalam 9 ketegori, yang mengkonsepsikan keempat arah mata angin menjadi delapan ketegori, dengan pusatnya sebagai kategori yang ke sembilan.
2. Orientasi nilai petani dan orientasi nilai priyayi.
i. Masalah mengenai hakikat hidup. Orang desa pada umumnya tidak biasa terlalu ambil pusing tentang hakekat kehidupan, dan hanya bersandar pada nasibnya saja, orang priyayi yang tinggal di kota justru sebaliknya.
Seperti halnya orang desa, orang priyayi juga menekankan pada konsep nasib dan aspek-aspek negatif dari hidupnya, iaitu bahwa hidup itu pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kesengsaraan. Bagi orang priyayi keadaan, betapa pun beratnya dan sengsaranya ikhtiar ini, orang wajib berusaha sebanyak mungkin untuk memperbaiki keadaan.
ii. Masalah mengenai hakekat karya dan etos kerja. Orang desa pada umumnya jarang berspekulasi tentang hakekat karya mereka, tentang pekerjaan dan arti dari hasil upaya mereka, kecuali percaya bahwa mereka selalu harus berikhtiar dan bekerja keras.
Seperti halnya orang desa yang agak terpelajar, orang priyayi pun menghubung-hubungkan tujuan akhir dari karya yang mereka lakukan dengan pahala. Kecuali para priyayi yang menganut filsafat kebatinan, mereka tidak menghubungkan pahala dengan karma yang berasal dari agama Hindu Budha, tetapi dengan cita-cita yang konkret dan nyata.
iii. Hubungan Antara Manusia Dengan Alam. Konsep mengenai nasib yang telah kita bicarakan di atas juga menentukan sikap orang jawa yang tinggal di daerah pedesaan, terhadap alam. Oleh karena mereka sangat banyak sangkut-pautnya dengan alam serta segala kekuatan alam, mereka belajar menyesuaikan diri dengan alam.
Para priyayi yang bekerja di kantor dan bertempat tinggal di kota, tentu sedikit sekali berurusan dengan alam. Walaupun demikian mereka banyak memikirkan tentang alam dan hubungan antara manusia dengan alam.
iv. Persepsi Orang Jawa Mengenai Waktu. Kemampuan untuk merasakan irama waktu juga ditentukan dengan suatu cara tradisional, yang menghitung saat-saat penting dalam bercocok tanam dengan mengkombinasikan berbagai sistem penanggalan yang teradapat dalm buku-buku primbon juga. Pada umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan, serta orientasi tingkah laku mereka ditujukan pada persepsi waktu masa kini.
Persepsi waktu pada orang priyayi sebaliknya sangat berorientasi ke masa yang lalu. Kehidupan orang priyayi yang tidak banyak bervariasi, pekerjaannya di kantor yang tetap sama dari hari ke hari, nostalgianya untuk benda-benda pusaka, kesibukannya untuk melakukan berbagai ritus yang rumit-rumit berkenaan dengan perawatan benda-benda pusaka.
v. Hubungan Antara Manusia Dan Sesamanya. Seperti yang telah kita lihat, orang jawa pada umumnya, dan secara khusus penduduk daerah pedesaannya, tidak memiliki suatu sistem kekerabatan yang kaku struktutnya, terutama dalam hal fungsi-fungsinya sebagai sutau korporasi, seperti misalnya mengatur dan mewariskan hak milik. Mereka gemar berkumpul, misalnya pada pesta dan perayaan keluarga, Dan karena itu hanya kindred dengan fungsi-fungsinya yang bersifat kadangkala saja yang merupakan kesatuan kerabat yang penting.
vi. Kewajiban untuk menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga. Dengan memperhatikan berbagai kebutuhan mereka, dan sebanyak mungkin membagi segala sesuatu dengan mereka. Kecuali orientasi nilai budaya secara kolateral, orang desa juga mempunyai orientasi nilai budaya yang vertikal. Mereka merasa sangat tergantung kepada bantuan, pandangan dan restu dari orang-orang penting, orang-orang yang berpangkat tinggi, para pegawai pamong desa, orang-orang yang senior, serta orang-orang tua dalam masyarakat.
3. Orang Jawa Sekarang
Sekarang hampir tidak ada desa di Jawa yang benar-benar terpencil. Walaupun mungkin masih ada jauh desa-desa tradisional di daerah-daerah pegunungan yang jauh letaknya dari jalan kereta api atau jalan raya, namun hampir tidak ada lagi yang sama sekali tidak pernah berhubungan dengan dunia luar atau yang penduduknya belum pernah keluar dari desanya. Oleh karena itu jelas diperlukan adanya suatu pengertian yang lebih jelas mengenai soal sampai seberapa jauh dan dalam daerah apa desa-desa Jawa itu secara dominan masih bersifat tradisional. Untuk hal ini diperlukan suatu penelitian kuantitatif yang lebih luas.
Nilai-nilai budaya dan cita-cita kebudayaan yang berasal dari Eropa Barat, melalui pengaruh orang Belanda, pemberontakan-pemberontakan yang bersifat politik, serta proses peralihan dari suatu peradaban agraris ke suatu peradaban industri yang akhir-akhir ini sedang berlangsung, telah merusak nilai-nilai budaya tradisional yang ada. Banyak penduduk desa adalah migran-migran musiman yang tinggal di kota selama jangka waktu tertentu dalam setahun,dan karena itu telah memiliki sikap hidup yang lebih aktif, sehingga mereka sudah tidak lagi menganggap bahwa usaha manusia itu tergantung pada nasibnya saja.
Baik penduduk desa maupun orang priyayi sekarang banyak yang sudah berubah persepsi mengenai waktu. sudah ada kecondongan makin banyaknya orang mengorientasikan hidupnya ke masa depan daripada ke masa lalu, bahkan ke masa sekarang saja. Kita dapat melihan suatu perubahan yang penting dalam proses sosialisali dan enkulturasi dalam banyak keluarga jawa.
Anak-anak jawa sekarang lebih banyak diajarkan untuk berdiri sendiri dan memiliki tanggung jawab pribadi. Orang jawa memang sedang bergerak dengan laju yang cepat kedalam arus peradaban dunia masa kini, tetapi orientasi nilai budaya, sikapkan mental, dan gaya hidup pegawai negeri jawa masih menjadi hambatan utama.

Share

Followers

 
;