Thursday, April 22, 2010

Dibalik Tanggal 13!


Terinspirasi dari cerita Mr. Andy, saya merasa ingin menulis kisah dibalik tanggal 13 Agustus.alt
Ya, tanggal 13 agustus adalah hari ulang tahun saya. Sejak dulu, orang-orang percaya, bahwa angka 13 adalah angka sial. Sialnya lagi, saya hampir mempercayai itu setelah mengalami kejadian-kejadian yang meninggalkan memoir tak terlupakan.
Hari itu hari jum'at, tanggal 13 agustus 2000. Saya masih kelas 4 SD. Seusai shalat jum'at. seperti biasanya saya bersiap mengenakan baju batik seragam sekolah. Maklum, sekolah di sebuah kota kecil, saat itu menggunakan sistem shift, jadi kelas saya berlangsung siang-petang.
Setelah selesai berpakaian dan makan siang, saya beranjak mengambil kunci sepeda dan bergegas mengenakan sepatu. Saat itu, baru sekitar 1 bulan saya 'dipercaya' mengendarai sepeda, alasannya sederhana : saya baru saja pandai bersepeda.
Pada masa itu, tante saya yang masih bersekolah di Madrasah Aliyah tinggal bersama kami di rumah. Melihat saya selesai memasang tali sepatu, ia menawarkan untuk mengantarkan saya ke sekolah, karena tante ingin meminjam sepeda pergi ke suatu tempat selesai sekolah. Saya tentu saja menolak dan semua orang tahu akan berujung ke mana. Kalau dipaksa =  meledak. Saya keras kepala dan layaknya sifat anak SD pada umumnya, rasa mencintai barang baru amat tinggi,
sehingga tak ingin berbagi. Tante menyerah dan membiarkan saya pergi. Tentu saja sebelumnya, rumah diwarnai dengan teriakan penolakan saya dan respon-respon saya yang melawan serta super menjengkelkan. Dibalas satufeedback  nya seribu.
Cobaan dan teguran-Nya pun bermula bagi seorang anal super keras kepala ini. Saat itu saya mengayuh sepeda cukup kencang, takut terlambat. Saat menuruni jembatan, seorang pengendara sepeda motor melaju cukup kencang di belakang saya. Saya yang tadinya di tengah, tiba-tiba berbelok ke kanan tanpa memberi isyarat. Alhasil? Demi mengelakkan tabrakan dengan sepeda saya, pengendara itu ngerem mendadak dan jatuh terseret ke jalan. Dia menyumpah-nyumpah. Dan saya dengan posisi mengangkangi sepeda, berdiri kaku dengan degupan jantung yang tak terkontrol memadang ke belakang. Pejalan kaki serta tukang becak yang lewat segera menolong bapak pengendara motor itu. Bapak itu masih memaki-maki sambil menunjuk-nunjuk saya. Ya, gara-gara saya!
Motor nya tak rusak parah, tapi yang saya lihat, terdapat sobekan celana di bagian lututnya. Saya tak berni bergerak dari posisi di mana saya berhenti dan memandangi drama hampir-tabrak itu. Saya tak tahu harus berbuat apa. Meminta maaf? Ganti rugi? Dengan uang 500 perak yang ada di kantong saya?
Akhirnya seorang ibu datang dan mengatakan pada saya agar segera pergi ke sekolah. "Sudah, pergi sana. Nanti kamu terlambat" ujarnya. Saya masih ragu, tak berkutik. Saya pandangi wajah ibu itu beberapa saat dan akhirnya mengangguk dan memutuskan untuk ke sekolah.
Cobaan belum selesai.
Tiba di sekolah, saya memarkir sepeda. Suasana ramai sekali hari itu. Ada pertandingan kasti antar sekolah rupanya. Jadi, beberapa kelas dibatalkan untuk mensupport  tim perwakilan sekolah. Beberapa dari kami , temasuk saya menonton dari lantai dua bangunan kelas. Kami bersorak bangga ketika lawan gagal menembus benteng pertahanan karena terbabit bola kasti. Teriakan-teriakan overreacting pun membahana sehingga membuat supporter  lawan merasa sakit hati. Ditengah riuhnya sorak-sorai itu, seorang supporter lawan berkata. "Awas ya! Lihat aja nanti! Kalian bakal ngerasain balasannya!"
Teriakannya tak terdengar jelas. Tapi, ada sedikit ketidaknyamanan terasa pada diri saya setelah ia mengatakannya. Terbayang sejenak gayanya menunjuk-nunjuk kami dari lantai satu. Ah, biarkan saja, dalam hati saya.
Selesai pertandingan, kami bergotong royong membersihkan sekolah. Semua siswa digerakkan ke area sekolah. Kami diarahkan untuk mengumpulkan sampah-sampah botol minuman dan dedaunan kering. Satu demi satu sampah saya pungut hingga saya sampai di area parkir. Sambil memungut sampah, terbesit di hati ingin melihat sepeda saya yang berwarna ungu saat itu. Saya masih ingat, merknya DEKI. Saat itu, merupakan sebuah kebanggaan bagi saya dapat mengendarai sepeda itu, karena bentuknya yang besar. Saat itu juga, sepeda tersebut terhitung bergengsi di kalangan anak-anak. Sesungguhnya sepeda itu bukan milik saya sepenuhnya, tapi milik kakak saya.
Sambil terus memungut sampah saya menuju ke tempat dimana saya memarkir sepeda saya. Saya terperanjat. Sepeda saya sudah tidak ditempatnya. Saya mulai risau. Dengan mata mulai berkaca-kava, saya berusaha meyakinkan diri kalau sepeda tersebut hanya berpindah tempat. Tapi keyakinan itu sebenarnya sia-sia, karena saya sadar : Saya lupa menguncinya!
Tangisan seorang anak SD labil yang kehilangan sepedanya tak terbendung. Memecah konsentrasi siswa yang tekun memunguti sampah. Fokus kepada saya, semua orang akhirnya tahu kalau sepeda saya hilang. Guru bimbingan kesiswaan mendatangi saya dan saya dibawa ke rumah nya yang berada tepat di sisi kiri sekolah. Saya menceritakan kejadian tadi dan ia paham. Menjelang maghrib saya masih betah di rumahnya. Bapak itu mulai runsing karena saya tak kunjung mau dipaksa pulang. Alasannya : Takut dimarahi karena sepeda hilang. Alasan yang sangat logis saat itu. Bagi keluarga saya yang sederhana, sepeda itu tidak bisa dibilang murah. Saya getir mengakui kalau sepeda itu sudah tidak ada pada saya.
Setelah isya, akhirnya Pak Kusdi berhasil membawa saya pulang. Ia menceritakan kejadian yang saya alami pada keluarga saya. Keluarga saya sudah mulai cemas, karena saya tidak pernah pulang larut tanpa kabar. Semuanya berlalu begitu saja. Ya, pada akhirnya pelajaran pula yang harus saya petik. Kakak saya menasihati sambil menggerutu, "Makanya, kalau punya telinga itu dengerin orang yang lebih tua. Udah hari jumat, malah keras kepala gak mau minjemin sepeda.."
*Cerita di atas pernah saya muat di kick andy fan's blog

0 comments:

Avant-propos!

Welcome to my page! Feel free to drop your comment :)

Introduction

Welcome

.

Twitter

“We are born to learn, We learn to know, We know to share, We share to think, We think for CHANGE!”-Raja Reza Fahlevi

Dibalik Tanggal 13!


Terinspirasi dari cerita Mr. Andy, saya merasa ingin menulis kisah dibalik tanggal 13 Agustus.alt
Ya, tanggal 13 agustus adalah hari ulang tahun saya. Sejak dulu, orang-orang percaya, bahwa angka 13 adalah angka sial. Sialnya lagi, saya hampir mempercayai itu setelah mengalami kejadian-kejadian yang meninggalkan memoir tak terlupakan.
Hari itu hari jum'at, tanggal 13 agustus 2000. Saya masih kelas 4 SD. Seusai shalat jum'at. seperti biasanya saya bersiap mengenakan baju batik seragam sekolah. Maklum, sekolah di sebuah kota kecil, saat itu menggunakan sistem shift, jadi kelas saya berlangsung siang-petang.
Setelah selesai berpakaian dan makan siang, saya beranjak mengambil kunci sepeda dan bergegas mengenakan sepatu. Saat itu, baru sekitar 1 bulan saya 'dipercaya' mengendarai sepeda, alasannya sederhana : saya baru saja pandai bersepeda.
Pada masa itu, tante saya yang masih bersekolah di Madrasah Aliyah tinggal bersama kami di rumah. Melihat saya selesai memasang tali sepatu, ia menawarkan untuk mengantarkan saya ke sekolah, karena tante ingin meminjam sepeda pergi ke suatu tempat selesai sekolah. Saya tentu saja menolak dan semua orang tahu akan berujung ke mana. Kalau dipaksa =  meledak. Saya keras kepala dan layaknya sifat anak SD pada umumnya, rasa mencintai barang baru amat tinggi,
sehingga tak ingin berbagi. Tante menyerah dan membiarkan saya pergi. Tentu saja sebelumnya, rumah diwarnai dengan teriakan penolakan saya dan respon-respon saya yang melawan serta super menjengkelkan. Dibalas satufeedback  nya seribu.
Cobaan dan teguran-Nya pun bermula bagi seorang anal super keras kepala ini. Saat itu saya mengayuh sepeda cukup kencang, takut terlambat. Saat menuruni jembatan, seorang pengendara sepeda motor melaju cukup kencang di belakang saya. Saya yang tadinya di tengah, tiba-tiba berbelok ke kanan tanpa memberi isyarat. Alhasil? Demi mengelakkan tabrakan dengan sepeda saya, pengendara itu ngerem mendadak dan jatuh terseret ke jalan. Dia menyumpah-nyumpah. Dan saya dengan posisi mengangkangi sepeda, berdiri kaku dengan degupan jantung yang tak terkontrol memadang ke belakang. Pejalan kaki serta tukang becak yang lewat segera menolong bapak pengendara motor itu. Bapak itu masih memaki-maki sambil menunjuk-nunjuk saya. Ya, gara-gara saya!
Motor nya tak rusak parah, tapi yang saya lihat, terdapat sobekan celana di bagian lututnya. Saya tak berni bergerak dari posisi di mana saya berhenti dan memandangi drama hampir-tabrak itu. Saya tak tahu harus berbuat apa. Meminta maaf? Ganti rugi? Dengan uang 500 perak yang ada di kantong saya?
Akhirnya seorang ibu datang dan mengatakan pada saya agar segera pergi ke sekolah. "Sudah, pergi sana. Nanti kamu terlambat" ujarnya. Saya masih ragu, tak berkutik. Saya pandangi wajah ibu itu beberapa saat dan akhirnya mengangguk dan memutuskan untuk ke sekolah.
Cobaan belum selesai.
Tiba di sekolah, saya memarkir sepeda. Suasana ramai sekali hari itu. Ada pertandingan kasti antar sekolah rupanya. Jadi, beberapa kelas dibatalkan untuk mensupport  tim perwakilan sekolah. Beberapa dari kami , temasuk saya menonton dari lantai dua bangunan kelas. Kami bersorak bangga ketika lawan gagal menembus benteng pertahanan karena terbabit bola kasti. Teriakan-teriakan overreacting pun membahana sehingga membuat supporter  lawan merasa sakit hati. Ditengah riuhnya sorak-sorai itu, seorang supporter lawan berkata. "Awas ya! Lihat aja nanti! Kalian bakal ngerasain balasannya!"
Teriakannya tak terdengar jelas. Tapi, ada sedikit ketidaknyamanan terasa pada diri saya setelah ia mengatakannya. Terbayang sejenak gayanya menunjuk-nunjuk kami dari lantai satu. Ah, biarkan saja, dalam hati saya.
Selesai pertandingan, kami bergotong royong membersihkan sekolah. Semua siswa digerakkan ke area sekolah. Kami diarahkan untuk mengumpulkan sampah-sampah botol minuman dan dedaunan kering. Satu demi satu sampah saya pungut hingga saya sampai di area parkir. Sambil memungut sampah, terbesit di hati ingin melihat sepeda saya yang berwarna ungu saat itu. Saya masih ingat, merknya DEKI. Saat itu, merupakan sebuah kebanggaan bagi saya dapat mengendarai sepeda itu, karena bentuknya yang besar. Saat itu juga, sepeda tersebut terhitung bergengsi di kalangan anak-anak. Sesungguhnya sepeda itu bukan milik saya sepenuhnya, tapi milik kakak saya.
Sambil terus memungut sampah saya menuju ke tempat dimana saya memarkir sepeda saya. Saya terperanjat. Sepeda saya sudah tidak ditempatnya. Saya mulai risau. Dengan mata mulai berkaca-kava, saya berusaha meyakinkan diri kalau sepeda tersebut hanya berpindah tempat. Tapi keyakinan itu sebenarnya sia-sia, karena saya sadar : Saya lupa menguncinya!
Tangisan seorang anak SD labil yang kehilangan sepedanya tak terbendung. Memecah konsentrasi siswa yang tekun memunguti sampah. Fokus kepada saya, semua orang akhirnya tahu kalau sepeda saya hilang. Guru bimbingan kesiswaan mendatangi saya dan saya dibawa ke rumah nya yang berada tepat di sisi kiri sekolah. Saya menceritakan kejadian tadi dan ia paham. Menjelang maghrib saya masih betah di rumahnya. Bapak itu mulai runsing karena saya tak kunjung mau dipaksa pulang. Alasannya : Takut dimarahi karena sepeda hilang. Alasan yang sangat logis saat itu. Bagi keluarga saya yang sederhana, sepeda itu tidak bisa dibilang murah. Saya getir mengakui kalau sepeda itu sudah tidak ada pada saya.
Setelah isya, akhirnya Pak Kusdi berhasil membawa saya pulang. Ia menceritakan kejadian yang saya alami pada keluarga saya. Keluarga saya sudah mulai cemas, karena saya tidak pernah pulang larut tanpa kabar. Semuanya berlalu begitu saja. Ya, pada akhirnya pelajaran pula yang harus saya petik. Kakak saya menasihati sambil menggerutu, "Makanya, kalau punya telinga itu dengerin orang yang lebih tua. Udah hari jumat, malah keras kepala gak mau minjemin sepeda.."
*Cerita di atas pernah saya muat di kick andy fan's blog

Followers

 
;